2 Hal yang Perlu Kita Renungi dari (Respon Kita terhadap) Gitasav & “Childfree”

Aya Canina
5 min readFeb 15, 2023

theme 2: response to actual womanhood-case

Photo by Liv Bruce on Unsplash

Seminggu lalu Gitasav viral lagi. Netizen, sebut saja “kita” — sebab kita adalah juga bagian dari kekacauan ini — berpesta pora lagi. Seperti pemandangan kejar-kejaran macan dan rusa di padang savana, kita patut bertanya: Gitasav yang rusa — ataukah kita? Setelah menonton rekaman instagram live Gita dan suaminya kemarin, kebanyakan dari kita sepakat m̶e̶r̶e̶k̶a̶ b̶e̶r̶d̶u̶a̶ Gita adalah rusa dan kita adalah macan yang mengejarnya. Kita mengejar-ngejar Gita (dan sedikit mengejar-ngejar suaminya) demi satu jawaban dari pertanyaan: “mengapa Anda memilih childfree?

Dalam tulisan singkat dan tidak ilmiah ini, saya ingin mengatakan keyakinan saya bahwa kitalah rusanya. Kita yang dikejar-kejar dan karena sepanjang hidup selalu merasa begitu, akan ada satu titik puncak saat kita merasa badan kita terlampau lelah dan energi kita hampir habis sebab melulu menjadi objek yang dikejar. Untuk menyelamatkan diri, bukannya kita melawan si macan, malah kita mencari rusa lain. Rusa lain itu adalah Gitasav. Tapi kita adalah rusa utamanya. Dan si macan adalah seseorang/seekor/sesuatu yang dapatlah kita sebut ia: patriarki.

Izinkan saya menyampaikan dua hal yang tidak akan memuaskan batinmu. Dua hal saja yang menurut saya perlu kita renungi dari (respon kita terhadap) Gitasav & diskursus childfree.

1. Glorifikasi peran Ibu & Hukuman bagi Si Bukan-Ibu

Kata ‘kodrat’ bukan main pengaruhnya bagi keputusan yang diambil perempuan sepanjang hidupnya. “Sudah kodratnya perempuan menjadi ibu” menjadi satu internalisasi yang prosesnya sudah dimulai sejak perempuan masih berupa anak-perempuan. Diberi mainan yang berkaitan dengan kerja reproduksi perempuan, misalnya. Jika boneka adalah bayi, anak perempuan pasti ibunya. Jika si boneka menangis, anak perempuan diajari cara mendiamkannya. “Begini, Nak. Perempuan kan selalu suka dengan anak bayi.” Bisa jadi ia memang suka dengan boneka dan bayi, tapi pengembangan kasihnya dari boneka menuju bayi manusia tidak pasti menandakan keinginan/ketidakinginannya kelak melahirkan bayi manusia.

Ketika peran ibu dinormalisasi, diberi penguatan positif, hingga diglorifikasi, saat itulah patriarki telah memecah-belah perempuan menjadi dua kubu: ibu (mother) vs bukan-ibu (non-mother). Patriarki membentuk ketidaksadaran kolektif kita; memberitahu kita bahwa perempuan pasti menjadi ibu. Kata ‘kodrat’ dilempar ke udara dan jadi umpan bebas dalam percakapan-percakapan tentang takdir perempuan.

Sebuah artikel jurnal berjudul “Silent bodies: Childfree women’s gendered and emobdied experiences” yang diterbitkan European Journal of Women’s Studies menampilkan hasil wawancara kepada sejumlah perempuan alasan mereka memilih childfree. Alih-alih bersumber dari faktor eksternal, para perempuan itu membentuk sebuah identitas feminin positif yang terpisah dari peran ibu, yang mengacu pada ketubuhan mereka. Peneliti memakai metafora silent bodies untuk menggambarkan ketiadaan dorongan tubuh untuk bereproduksi. Beberapa jawaban mereka:

  • “I don’t know. No. No. I have … I can’t put my finger on why. It has just been a natural thing that: “No”” (Saya tidak tahu. Tidak, tidak. Saya… tidak tahu mengapa. Itu hanya sesuatu yang natural bahwa untuk tidak)
  • “It has been a natural choice quite simply. So it’s not like a big deal” (Itu adalah suatu pilihan alami yang sederhana saja. Jadi bukan masalah besar)
  • “It’s not correct to call it a decision. I’ve never imagined myself as a parent or as having kids” (Tidak benar mengatakannya sebagai keputusan. Saya tidak pernah membayangkan diri saya sebagai orang tua)
  • “It’s just that I have zero desire to have children” (Itu hanya bahwa saya tidak memiliki keinginan sama sekali untuk memiliki anak)

Perhatikan bahwa perempuan-perempuan itu menunjukan adanya komunikasi intrapersonal antara dirinya dan tubuhnya — sebuah percakapan rahasia yang tidak pernah benar-benar umat manusia ketahui. Kita, sebagai anak cucu patriarki, senang dengan simplisifikasi dikotomi ibu & bukan-ibu. Kita terus melakukan peperangan psikologis tersebut; memberi tepuk tangan untuk sang ibu dan hukuman untuk sang bukan-ibu. Kita berperang sambil terus memisahkan perempuan dari tubuhnya, seolah-olah keputusan perempuan untuk tidak memiliki anak terpisah dari tutur batin atas tubuhnya. Tubuh perempuan telah jadi tubuh sosial yang diatur masyarakat atas nama kodrat.

Saya ingin mengutip pernyataan bernas Ester Lianawati dalam bukunya, Akhir Penjantanan Dunia hal. 59:

Hari ini tidak sedikit perempuan mengatakan bahwa menjadi ibu adalah pilihan sadarnya. Tapi pilihan yang benar-benar pilihan hanya dapat diambil dengan diterangi cahaya pengetahuan, demikian filsuf Friedrich Nietzche mengingatkan. Namun, dalam masyarakat patriarkis, pengetahuan tidak diberikan seutuhnya kepada perempuan.

Jadi, satu pertanyaan untuk kita: ketika para ibu tidak pernah ditanya alasan mereka memiliki anak, mengapa yang bukan-ibu seringkali dituntut pertanyaan atas pilihan mereka tidak memiliki anak?

2. Sementara menjadi ibu adalah pilihan, menjadi tua adalah keniscayaan

Satu hal yang paling mengganjal dari pernyataan Gitasav mungkin adalah obsesinya akan kemudaan seorang perempuan. Kalimat “not having kids is indeed natural anti aging” bagi saya menunjukkan Gita sama terjebaknya dengan kita dalam skenario patriarki lainnya: kecantikan. Gita benar dalam hal merdeka memaknai dan menentukan takdir sistem reproduksinya sendiri, tapi ia keliru dalam hal konstruksi kemurnian/kesucian/kemudaan perempuan. Ironinya, kedua hal tersebut membersamai diskursus ketubuhan perempuan.

Ketika banyak ibu terluka batinnya atas pernyataan Gita karena tubuhnya — yang secara alami merasakan sakit, terbelenggu, dan kepayahan sebab telah berhasil memberi keturunan — dianggap mengalami degradasi nilai kecantikan, mereka menyerang Gita dengan narasi yang sama rapuhnya: “kami juga bisa awet muda.” Para selebriti seperti Sophia Latjuba & Wulan Guritno diletakkan di baris terdepan oleh kita dengan spanduk bertulisan “mereka beranak dan tubuh mereka tetap singset”.

Yang luput dari pengamatan dan penghayatan kita adalah tidak semua perempuan menganut nilai-nilai feminis (nilai-nilai pemberdayaan perempuan). Menyodorkan Sophia Latjuba & Wulan Guritno ke hadapan Gita Savitri tidak menerangkan apa-apa kecuali kita justru membantu patriarki mewujudkan agenda selanjutnya: persaingan antar-perempuan.

Tidakkah kita menyadari itu? Persaingan antar-perempuan adalah pesta patriarki paling seksi yang berdenyut dalam urat nadi kita. Siapa yang paling mungkin menyerang perempuan pembangkang norma-norma masyarakat (& agama) jika bukan perempuan lainnya? Ibu menyerang bukan-ibu, istri menyerang pelakor, perawan menyerang janda. Diam-diam kita menikmati pertunjukan semacam itu, bukan?

Penutup

Bagi saya sendiri, butuh waktu untuk menyadari masalah sebenarnya dalam pernyataan Gitasav adalah bukan tentang childfree, melainkan lebih dari itu, menyoal kompleks ketubuhan perempuan.

Childfree bukan bahasan baru dalam feminisme dan perdebatan masyarakat. Childfree bukan persoalan adat barat-timur. Perempuan-perempuan yang diwawancarai dalam artikel jurnal di atas berkebangsaan Swedia. Artikel jurnal childfree tertua yang saya temui dan baca baru-baru ini terbit pada 1993 di Amerika Serikat. Beberapa presentasi Tedx Talks menyoal childfree berusia lebih lama setidaknya dari usia pandemi Covid-19.

Gitasav toh bukan sekali ini viral, mengapa kita masih kaget? Jika childfree sudah puluhan, mungkin ratusan kali, dibicarakan, mengapa yang kita persoalkan masih itu-itu saja?

Gitasav dan kita sama-sama masih banyak luput perihal tubuh perempuan. Di pojok sana, dengan liur menetes dan perut buncit berisi rencana-rencana parasit, patriarki duduk menonton keluguan kita.

Tulisan ini sudah tentu membawa kita kepada diskusi lebih lanjut. Saya akan senang jika kamu membubuhkan komentarmu. Kita bisa sama-sama belajar.

Salam cinta.

Jangan lupa kunjungi tulisan Ayyara Fay Japakyati & Agnicia Rana menyoal topik ini. Kami bertiga sedang berproyek menulis bersama.

Kunjungi tulisan saya sebelumnya:
https://ayacanina.medium.com/mengubur-mimpi-mati-muda-d9d5a328b9d2

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.