3 Kekeliruan Definisi Cinta

Aya Canina
7 min readAug 23, 2021

Merangkum “Seni Mencintai” Erich Fromm, Merangkum Kegagalan Kita dalam Mencintai (1)

https://tricycle.org/magazine/erich-fromm/

Tidak perlu menjadi pujangga atau Rangga, dari dulu kita yang biasa-biasa saja ini kerap menebak apa arti cinta sesungguhnya. Dalam forum-forum virtual santai, orang-orang membahas cinta sebagai topik ringan pelepas penat, coffee break dari kerjaan kantor yang menumpuk.

Bagi kebanyakan anak muda, membahas cinta tidak semerepotkan membahas cara-cara hidup minimalis atau bagaimana membangun start-up bagi milenial. Diskursus tentang cinta biasanya dilakukan dengan pertukaran ide acak berdasarkan fenomena yang sedang terjadi. Barangkali sebab cinta adalah topik yang luas, kaya, sekaligus kabur definisinya. Kita menelisik cinta dalam bahasan toxic relationship, kita bisa mengkaji cinta dalam pembagian kerja domestik laki-laki dan perempuan, pada bahasan childfree yang akhir-akhir ini kuat sekali gaungnya, bahkan ada persoalan cinta di dalamnya: cinta suami-istri, cinta ibu kepada anak, cinta netizen kepada patriarki.

Tapi adakah yang mendefinisikan cinta sebagai sebuah seni selain Erich Fromm?

“Cinta adalah seni? Berarti cinta butuh pengetahuan dan upaya. Ataukah cinta itu suatu sensasi nyaman, yang kita alami semata karena kesempatan, yang hanya orang beruntung saja yang “jatuh cinta?” Buku tipis ini menggunakan premis yang pertama, sementara mayoritas orang zaman sekarang pasti meyakini premis kedua.”

Itu adalah paragraf pembuka dari bab pertama buku Art of Loving milik Fromm. Diterjemahkan dengan apik oleh Aquarina Kharisma Sari melalui penerbit Basabasi dengan judul Seni Mencintai. Saya kira membaca versi terjemahannya tidak mengikis sedikit pun poin penting dan menarik dari buku ini.

Erich Fromm, seorang filsuf dan psikoanalis pertengahan abad 20 yang menggabungkan pemikiran neo-Freudian dan Marxisme, berargumen dengan lugas tentang bagaimana orang-orang — salah satunya pasti kita — mengimani asumsi yang keliru perihal cinta. Ada tiga kekeliruan definisi cinta manusia modern:

1. Keliru bahwa yang paling penting dari cinta adalah dicintai, bukan mencintai

Saya ingat dulu jaman remaja ketika persoalan cinta begitu kentara, konyol, dan menggelora, ada satu pertanyaan yang sering diajukan oleh siapa pun kepada siapa pun: bayangkan di hadapanmu ada dua orang hampir jatuh ke jurang. Yang satu adalah orang yang kamu cintai, yang lainnya adalah orang yang mencintaimu. Jika kamu hanya bisa menyelamatkan salah satunya, yang mana? Pertanyaan ini tentu bisa diganti latarnya: jatuh dari jembatan gantung, jatuh dari lantai tujuh, jatuh dari puncak Monas, jatuh dari punggung unta. Tak penting soal itu. Mereka jaman itu menginginkan jawaban rigid, yang apa pun jawabannya, pasti ada saja cemoohnya. Jika saya menjawab “orang yang kucintai”, si kawan akan menyela, “jadi, Lo nyia-nyiain orang yang cinta sama lo dong?”. Jika saya menjawab “orang yang mencintaiku”, si kawan lebih ngotot lagi, “Lo egois dong kalo gitu.”

Persetan. Seringnya saya menjawab yang kedua.

Tumbuh dewasa dan terluka, pertanyaan itu kadang muncul dalam bentuk samar. Dulu tentu itu hanya pertanyaan main-main, tapi tidak lagi setelah saya tahu rupanya cinta punya teorinya sendiri. Tapi baru kali ini saya menjumpai seseorang yang meneorikan cinta sebagai sebuah seni.

Kembali kepada pertanyaan itu, saya rasa memanglah kebanyakan orang memiliki default setting demikian. Saya memandang diri saya mesti lebih dulu layak dicintai. Ketika saya tertarik dengan seseorang, yang kerapkali muncul dalam kepala adalah bagaimana caranya agar dia memandang saya seperti saya memandang dia. Untuk mencapai tujuan itu, saya harus memantaskan diri. Bukan untuk mencintai, melainkan dicintai. Saya bersolek, memasang ‘kuda-kuda’ ketika berpapasan dengannya, tampil di muka umum dengan kepiawaian berbicara. Jika situasinya tidak berjalan seperti yang saya harapkan, saya akan mengevaluasi diri dengan premis “jika saya tidak menampilkan diri seperti seleranya, maka mustahil dia mencintai saya.”

Tanpa membaca Erich Fromm, sebenarnya, jika kita bisa pikirkan itu matang-matang, tentu payah sekali diri kita ini. Secara psikologis, memandang cinta sepeti itu lambat laun akan menghancurkan ke-aku-an seseorang. Biasnya penilaian diri di atas standar eksternal dapat memicu rendahnya self-esteem dan penerimaan diri. Padahal, dalam konteks apa pun, respon orang lain adalah hal yang paling tidak bisa kita kontrol, termasuk bagaimana reaksi gebetanmu.

Bagi Erich Fromm, “…cara-cara menjadi orang yang disukai (loveable) sama dengan cara-cara meraih sukses untuk mendapatkan banyak teman dan pengaruh dalam masyarakat.” Dengan kata lain, mereka haus popularitas. Dalam konteks cinta romantis (Erich Fromm menyebutnya cinta erotis), orang yang berusaha keras agar dicintai berarti menginginkan popularitas sekaligus prioritas dalam diri objek cintanya. Jika objek cintanya melengos, pergi, lepas, tidak berpaling sedikit pun, maka orang ini akan merasa gagal dalam cinta, terlebih, ia merasa gagal sebagai pencinta. Sayang sekali, ia sama sekali tidak mengevaluasi dengan murni caranya mencintai.

Ini berkaitan dengan kekeliruan definisi cinta yang kedua.

2. Keliru memahami cinta adalah persoalan objek, bukan kemampuan

Saya kira kamu pasti pernah menonton program TV Take Me Out. Tinder versi reality show. Dulu saya menonton di Global TV, sekarang siaran tahun 2019-nya bisa kamu tonton berulang-ulang di Youtube.

Dalam satu video ini misalnya, kamu akan jadi bagian dari satu juta lebih penonton Indonesia yang menyaksikan perempuan-perempuan ditempatkan di podiumnya masing-masing dengan sebuah tombol yang nampaknya hadir sebagai simbol sudah diakuinya hak pilih bagi perempuan.

Seorang single man muncul ke tengah-tengah, menjadi badut, mencemaskan maskulinitasnya di hadapan para penonton bayaran. Dipilih atau ditolak, ia tidak punya wewenang untuk itu. Menarik atau tidak menarik dirinya ditentukan dari penilaian 30 perempuan di situ.

Persetan dengan personal branding, setelan jas, dan cerita jalinan kasih.

Satu perempuan memencet tombol untuk memadamkan lampu podiumnya tanda ia tidak menyukai laki-laki lajang di hadapannya. “Ini (re: dia) tuh kayak belum saatnya untuk dipetik gitu loh,” begitu katanya. Perempuan lain yang memilih mempertahankan nyala lampu podiumnya mangatakan, “aku suka banget deh sama karakter bibirnya. Kelihatan tebal dan hangat gitu.” Setelah video diputar pada layar raksasa, setelah si laki-laki menampilkan dirinya yang musisi banget, perempuan lain mencemooh, “terus sekarang kerjaannya cuma musisi? Koleksinya cuma gitar? Gak ada aset-aset yang ditunjukin gitu. Ya minimal punya mobil kek.”

Bajingan. Terlepas dari keniscayaan musisi yang hidup-segan-mati-tak-mau, mengumpatlah sekarang.

Settingan atau settingan banget, inilah kira-kira gambaran dari Pasar Kepribadian yang disebut Erich Fromm. Orang-orang modern pertama-tama menyingkirkan dulu persoalan kemampuannya dalam mencintai. Mereka menempatkan objek cinta menjadi yang paling penting di hadapannya saat ini.

Erich Fromm berargumen bahwa kebudayaan kontemporer kita saat ini berdasar pada hasrat membeli, pada gagasan tentang pertukaran saling menguntungkan. Menurutnya, laki-laki dan perempuan memandang satu sama lain dalam cara yang sama. “Menarik” dalam diri seseorang berarti bagaimana orang itu memiliki kualitas kepribadian yang sesuai dengan selera zaman. Kita adalah anak-anak zaman. Apalagi pasar bisa diciptakan. Sekuat apa pun kita menyangkal, selera kita dibentuk oleh zaman. Misalnya, menurut Erich Fromm, “selera hari ini menuntut perempuan lebih rumahan dan malu-malu — tidak lagi kuat dan seksi, sementara laki-laki, agar menjadi sebuah paket menarik, harus ramah, sabar, mengayomi — tidak lagi begitu agresif dan ambisisus.”

Dalam keseharian, selera zaman ini diinternalisasi menjadi bahasa yang lebih sederhana: kriteria pasanganku, kriteria pasanganmu. Daftar kriteria ini menjadikan orang membuka penawaran. Objek cintanya mestilah sesuai dengan nilai masyarakat (termasuk nilai-nilai yang ia anut), di saat yang bersamaan objek ini harus menginginkan dirinya. Ia sendiri membiarkan dirinya menjadi sebuah objek. Maka terjadilah pertukaran: saling jatuh cinta dan tergila-gila.

“dalam kebudayaan di mana orientasi dagang berlaku, di mana kesuksesan materi bernilai luar biasa, tak mengejutkan bahwa relasi cinta manusia mengikuti pola pertukaran sama, yaitu pola yang menguasai komoditas dan pasar tenaga kerja” (Hal. 11)

Seperti Tinder, Take Me Out memberi peluang seseorang untuk dapat dicintai, dipilih, dan menjadi objek cinta. Meski kita yakin betul jatuh cinta di atas panggung itu hanya tipuan belaka, setidaknya kita mendapat dua gambaran nyata: 1) bagaimana manusia diprogram untuk mampu jatuh cinta, 2) bagaimana jatuh cinta dengan cara yang buruk.

3. Keliru mengenai jatuh cinta (fallin in love) dan mencinta (being in love)

Klise, tapi benar adanya: lebih sulit mempertahankan, daripada mencapainya.

“Jika ada dua orang yang awalnya asing, sebagaimana kita semua,” kata Erich Fromm, “tiba-tiba membiarkan tembok di antara mereka runtuh, lalu merasa dekat dan menyatu, maka momen penyatuan ini menjadi pengalaman paling menggembirakan dalam hidup.” Inilah jatuh cinta yang kita pelajari dari film, lagu, puisi — bahkan puisiku.

“Kekasih, kau katarsis paling imaji. Dopamin paling banal dari kewarasanku…” (Aya Canina, Mengeja Kekasih)

Ini diperparah dengan istilah populer “cinta pada pandangan pertama”. Seperti pangeran menemukan Cinderella, seperti itu juga kamu berkhayal bertemu pasanganmu. Barbara & Allan Pease dalam buku fenomenal mereka, Why Men Want Sex and Women Need Love, menemukan bahwa cinta pada pandangan pertama memproduksi hormon dopamin dalam jumlah besar, yang membuatmu persis seperti pengidap narkoba. Euforia, rasa lapar, dan tidak berdaya.

“Cinta bersifat adiktif dengan cara yang sama seperti kokain.” (Dr John Marsden, Kepala The British National Addiction Centre)

Jelaslah, jatuh cinta adalah candu selanjutnya.

Apa yang ingin dikatakan Erich Fromm adalah kegilaan ini sesungguhnya tidak abadi. Wahana bermain tutup pukul enam sore, pasar malam tidak beraksi sampai pagi. Tidak ada kesenangan yang berlangsung terus-menerus. Orang jatuh cinta sesungguhnya takut kehilangan gairah itu. Ia gembira, sekaligus takut. Persis seperti ketika kita naik roller coaster. Takut, tapi ingin. Maka muncullah afirmasi: orang yang jatuh cinta adalah orang yang berani mati.

Mencintai tidak begitu. Mencintai menurut Erich Fromm berarti berada dalam cinta (standing in love). Artinya, orang yang mencintai berada dalam kesadaran penuh. Aku mencintainya karena keinginanku. Aku mencintainya karena upaya-upayaku menjadikan cinta itu ada.

Lagi-lagi, kegagalan dalam cinta direfleksikan dengan bias. Cintaku kandas karena aku tidak betul-betul dicintai, bukannya karena aku tidak betul-betul mencintai. Akhirnya, seperti kata Erich Fromm, “setelah pasangan tersebut saling mengenal, kemesraan mereka makin dan makin kehilangan keajaibannya. Sampai-sampai permusuhan, kekecewaan, dan kebosanan membunuh apa saja yang tersisa dari kegembiraan awal.”

Demikianlah kekeliruan kita. Sebaiknya kita mendaur ulang definisi cinta kita selama ini. Tidak ada yang sempurna, jelas. Perihal cinta kita semua pemula. Juga, mengamini Asef Saeful Anwar, betapa kita masih belum beranjak dari pertanyaan tentang cinta.

Tapi bagi Erich Fromm, seni mencintai bisa dipelajari seperti ketika kita ingin mempelajari seni-seni yang lain. Bagaimana caranya? Mungkin aku akan merangkumnya pada bagian kedua (atau mungkin juga tidak).

Duduk dan diamlah dulu. Apakah kamu sedang menunggu pangeran kodok untuk kamu selamatkan? Apakah kamu sedang bertanya apakah Beauty and the Beast benar-benar bisa terjadi di duniamu? Apakah kamu baru saja berbohong kepada pacarmu, mengatakan “aku gak akan pergi kok”, semata-mata untuk membuatnya tetap tinggal? Apakah kamu selalu merasa yang paling tersakiti?

Plis, jangan biarkan aku mengutip Fiersa Besari: coba tanya hatimu sekali lagi.

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.