4 Sisi Gelap “Love Language”

Aya Canina
6 min readNov 30, 2023

theme 9: love language (with Agnicia Rana & Ayyara Fay Japakyati)

Hasil tes “love language” terbaruku, 17 Oktober 2023. Akses tes di sini.

3 Contoh Masalah Love Language

Love language alias bahasa cinta adalah cara instan seseorang menjelaskan kepada orang lain tentang bagaimana mereka ingin dicintai. Gary Chapman mencetuskan teori bahasa cinta ini dalam bukunya, The 5 Love Languages: How to Express Heartfelt Commitment to Your Mate. Intisari paling dasar dari teori ini adalah kemampuan untuk benar-benar melihat pasangan kita sebagai “orang lain” sehingga upaya pengungkapan cinta didasari pada bahasa pasangan kita, bukan bahasa kita. Kita memberi bukan apa yang kita inginkan, melainkan apa yang pasangan kita inginkan.

Warga media sosial hari ini mungkin tidak begitu tertarik dengan si bapak tua itu, Gary Chapman. Term “love language” saja cukup membuat darah mereka berdesir untuk segera mengatakan kepada dunia: “gue orangnya word of affirmation banget. jadi wajar dong kalau pengennya digombalin, disemangatin, dipuja-puji.” Ihiw. Fyp.

Bertahun-tahun hasil tes love language-ku adalah words of affirmation. Aku percaya dewa-dewi bahasa bersatu memberi kekuatan pada tubuhku untuk siap menerima pesan whatsapp seperti “good morning, pacarku! semangat ya untuk hari ini. semoga hatimu selapang kebun raya bogor. aku sayang kamu.” Dan jika itu tidak terjadi, kekuatanku menyusut menjadi hanya tidak lebih dari setengah energi yang dibutuhkan manusia untuk menjalani aktivitas 12 jam sehari.

Love language membuatku memiliki senjata ketika pasanganku tidak cukup memberi nutrisi bagi jiwaku. Demi terus menyalanya api cinta, aku kerap memberi peringatan dia tentang bahayanya jiwa yang kering kerontang kekurangan afirmasi. “You don’t make enough effort to me” adalah pemantik paling asyik untuk memprovokasi. Akhirnya kami bertengkar imut dan diakhiri dengan kata penutup darinya, “hidup kita baik-baik saja. Aku mencintaimu meski gak setiap hari kukatakan I love you.” Lalu aku tenang, berhenti tantrum, lega.

Besoknya, ketika tidak ada kata-kata dan percakapan menjadi formalitas belaka, aku begitu lagi.

Love language seringkali benar-benar memberi kita dorongan membabi-buta untuk memberi arahan orang lain bagaimana cara tepat mencintai kita, tanpa kita sadar kita kerap membuat simpulan besar keliru tentang hubungan ideal dan tidak ideal.

Beberapa efek love language theory yang sering kutemukan di sekitarku:

  1. “Gue match sama orang yang good-looking, financial-stable, dan kayaknya gak ada isu aneh di diri dia. Tapi dia gak effort jemput gue atau nawarin bantuan pas gue kerepotan. Padahal udah gue jelasin soal kebutuhan act of service itu. Gak paham kali ya dia? Padahal gue udah coba atur waktu buat memenuhi quality time yang dia butuhkan loh.”
  2. “Udah dua tahun nikah. Kami baca teori itu dan sepakat bahwa bahasa cinta penting. Capek banget nurutin love language afirmasi cewek gue. Tapi kayaknya pujian, kata-kata semangat yang gue kasih gak pernah cukup deh buat dia. Dia selalu aja ngeluh capek. At the same time gue tahu dia berusaha untuk terlibat dalam pekerjaan gue, nawarin bantuan kalau-kalau gue butuh pemikiran dia (act of service). Tapi kita gak pernah puas dan lelah mental banget.”
  3. “Cowok gue romantis banget. Meskipun rokok gue beliin, makan kadang gue masakin, tapi bjirrrr… seniman gitu kali yak? Gue kayak dikasih bunga tiap hari, padahal engga. Dia cuma gombal dikit, genjreng gitar dikit, gue meleleh. Kayaknya hidup sama dia bakal indah tiap hari deh.” [cry]

Dari ketiga contoh itu, kamu sudah bisa menganalisa letak kekeliruan berpikirnya? Sebelum lanjut baca, coba tulis pandanganmu di kolom komentar artikel ini.

4 Sisi Gelap Love Language

Kita semua butuh penjelasan. Tapi tidak semua dari kita mau menerima penjelasan yang ada, apalagi jika penjelasan tersebut bertentangan dengan apa yang kita yakini.

Ini adalah 4 sisi gelap love language, yang coba kuparafrase, kurangkum ulang dari artikel berjudul “6 Problems with The Love Languages, from A Couple Therapist” oleh Linda Caroll, M.S., LMFT yang rilis dalam situs mindbodygreen pada 1 Desember 2020:

1. Love language digunakan untuk berkompetisi

Kategorisasi love language membuat petunjuk cara-cara mencintai & dicintai menjadi lebih mudah. Namun, jika kita semata-mata menyandarkan tolok ukur kepuasan hubungan pada teori ini, kita hanya akan berakhir pada kompetisi “siapa yang berbuat lebih banyak” dalam relasi romantis kita.

Tilik contoh 1 di atas. Jika kita menggunakan love language seperti berlomba mencetak skor, semua keindahan yang didapat dari mempelajari bahasa cinta satu sama lain akan terhapus ketika kita bersaing dalam hal itu.

Kita akan meraba siapa yang paling sering, paling jago, paling peka memenuhi bahasa cinta pasangannya. Dan jika, katakanlah, kita pemenangnya, kita mungkin saja membesar-besarkan kelemahan pasangan kita, membuatnya tampak jauh lebih buruk dari keadaan sebenarnya; keadaan yang pada dasarnya bukan pada persoalan love language, melainkan pada suatu permasalahan krusial — yang belum kamu definisikan.

2. Kita mengira love language bersifat permanen

Featured image dalam tulisan ini adalah bukti bahwa love language seseorang bisa berubah.

Sampai hari ini aku masih meyakini love language terbesarku adalah words of affirmation. Itu adalah default setting yang no debate dan kukira gak akan berubah bahkan jika pasangan relasi romantisku berganti.

Ternyata aku salah.

Tidak berhasil menjalin hubungan dengan yang-orang-sebut-seniman, juga dengan laki-laki humaniora yang paham banget Sapardi dan lirik-lirik lagu Banda Neira, juga LDR beda pulau yang available berjam-jam di telepon, membuatku sadar kebutuhanku jauh dari sekadar words of affirmation. Aku butuh pembuktian yang lebih dari I love you dan aku mencintaimu dengan sederhana. Bagaimana jika bukti cinta itu datang dari upayanya untuk menemuiku, mengatakan keseriusannya tanpa babibu, dan akhirnya berniat meminangku?

Alih-alih menjadikan love language sebagai tujuan, jadikan ia sebagai jembatan. Tujuan hubungan tentu bukan sekadar dipuji dan diafirmasi, kan? Memegang tangan, saling memijat, liburan bersama, merencanakan kejutan, memberinya bantuan — itu semua cara. Dan cara sangat mungkin berubah.

Adaptasi pada perubahan bisa dilakukan dengan keterampilan komunikasi yang baik. Menjadi pembicara yang baik sekaligus pendengar ulung adalah skill yang harus terus kita asah.

Love language adalah perihal kebutuhan. Coba pikir, sebenarnya, dalam taraf masing-masing, kita butuh kelima jenis love language itu, bukan? Tidak terus-menerus kamu butuh dipuja-puji dan digombalin, toh? Buatmu yang punya skor tinggi pada pyshical touch, kadang kamu juga risih diberi sentuhan/ciuman, apalagi ketika kamu tidak benar-benar menginginkannya.

Lama-lama, tanpa arah dan tujuan, semua bahasa cinta itu — rayuan, sentuhan, kejutan, bantuan, waktu bersama — hanya akan jadi omong-kosong belaka.

3. Love language membuat kita menuntut pasangan

“you can’t pour from an empty cup”

Gary Chapman menggambarkan “tangki/wadah/gelas” sebagai perumpamaan bahasa cinta yang harus selalu kita upayakan untuk penuh. Perilaku buruk, penarikan diri, kata-kata kasar terjadi karena wadah kita kosong. Sayangnya, yang kita lakukan seringkali adalah menunggu pasangan kita membuat kita merasa lebih baik.

Pernahkah berpikir untuk memenuhi kebutuhan love language-mu sendiri? Mengafirmasi dirimu, self-reward, memeluk dirimu sendiri (ini benar-benar bisa kamu lakukan dengan metode “butterfly hug”). Pernah. Tapi pernah seserius kamu meminta pasanganmu yang melakukannya?

Bagus sekali memiliki prinsip kesalingan; saling memupuk, saling menyiram, saling merawat, saling berbahasa cinta. Tetap saja, kembali pada prinsip dasar ini: perilaku & keputusanmu sepenuhnya kendalimu. Perilaku & keputusan pasanganmu di luar kendalimu.

Aku selalu yakin bahwa kita tidak bisa menuntut seseorang mencintai kita ketika kita sendiri belum mencintai diri sendiri.

4. Love language tidak akan menyelesaikan inti masalah

Memahami bahasa cinta bisa mengajari kita banyak hal tentang hubungan, tapi itu tidak serta-merta menyelesaikan inti masalah hubungan tersebut. Kita butuh upaya yang jauh lebih komprehensif untuk mendefinisikan, merenungkan, menganalisa core problem yang kita hadapi sebagai pasangan.

Lihat contoh 3 di atas. Sesat pikir terjadi ketika seseorang mendudukkan pemenuhan bahasa cinta sebagai kunci utama bekerjanya hubungan. Seseorang akan menjadi begitu mudah terjerumus jika tidak punya prinsip dan arah. Bukankah dunia ini penuh tipu daya? Cium-sayang, bujuk-rayu, manis-manja hari ini tidak akan membawa kita ke mana-mana kecuali kita jelas sedang mencapai suatu tujuan.

Pelajari kepribadianmu (dan pasanganmu). Pelajari lebih lanjut kesehatan mentalmu, tilik lagi childhood life-mu. Apakah kamu punya pengalaman traumatis yang memengaruhi cara pandangmu hari ini, sementara pasanganmu mungkin struggling dengan hal-hal yang juga krusial — yang belum kamu pahami.

Teori love language memang memberi cara pandang praktis tentang memberi cinta yang dibutuhkan pasangan (“kamu bukan aku” — melihat pasangan sebagai pihak lain, yang kebutuhannya berbeda dengan diri kita). Tapi itu bukanlah jawaban akhir, atau satu-satunya faktor, dalam hubungan.

Teori love language milik Gary Chapman ini mempertahankan kepopulerannya selama 30 tahun belakangan. Orang seringkali membahasnya dalam ranah psikologi populer.

Mengetahui love language diri dan pasangan mestinya menjadi awal mula pencarian komprehensif aspek-aspek psikologis yang mengikutinya. Sebaiknya tidak membiarkan diri tersesat pada pemahaman dangkal suatu teori, sepopuler apa pun teori itu.

Berbahagialah setiap bahasa cinta.

*

Jika kamu suka dengan artikel ini, please kindly give your best claps dan tinggalkan komentarmu. Aku sangat ingin bertukar sudut pandang dengan siapa pun. Bagikan juga di media sosialmu dan tag aku, @ayacanina.

Salam cinta.

Baca artikel lainnya:

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.