Alana yang Lajang dan Kita yang Mendoakan Kebahagiaannya

Aya Canina
3 min readSep 27, 2020

Writing Challenge Day 6: Single and Happy

Mia Wallace (Uma Thurman) in Pulp Fiction (1994)

Rasanya tidak ada masa yang betul-betul lajang setidaknya selama lima tahun ke belakang. Buaya, serigala, macan kumbang, buaya, buaya, buaya (baca: lelaki) ada saja yang datang dalam kondisi lapar. Jadi aku tidak akan bisa menulis topik hari ini dengan paripurna, kecuali melalui bantuan anak gadis dari negeri dongeng ini: Alana.

Kuceritakan sedikit, sekali lagi, cerita Alana yang tidak jadi ke pertunjukan puisi.

Seperti yang sudah kamu tahu, pada mulanya Alana mendandani dirinya sedemikian rupa agar pantas di hadapan puisi. Ia memakai bulu mata palsu yang pada tiap helainya terdapat nawaitu dan amin yang lebat. Gincunya merah muda: sifat kenakalan puisi. Pipinya dibuat merona supaya puisi genit padanya dan sudi menjadikan dirinya tiga-empat bait. Barangkali cocok dengan judul “Pasar Malam di Wajah Alana”.

Alana sengaja pergi sendiri (Alana biasanya memang pergi sendiri). Tak ada yang ia bawa, kecuali mata, telinga, dan hati yang murni untuk diisi puisi. Di jalan ia melihat seorang ibu sedang menyuapi anaknya. Itu puisi, pikir Alana. Ia melihat pengamen lusuh di simpang jalan. Itu puisi. Ia merasa motornya berjalan mulus sore itu. Dan itu puisi.

Sesuatu di tengah jalan menghalangi Alana untuk sampai ke pertunjukan puisi. Ia kebelet, kata seseorang. Betul Alana kebelet, tapi bukan kebelet pipis, melainkan kebelet kawin.

Sekarang kita mengetahui satu fakta bahwa Alana rupanya dilanda sebuah perasaan yang amat sangat, yang sekeras apa pun ia mencoba, musykil baginya untuk menghindar: kebelet kawin. Dan Alana menyadari ini. Saban hari ia jadikan puisi teman bermain, teman berduka, dan teman bercinta, semata-mata untuk berusaha lari dari kenyataan: kekasihnya minggat lima hari setelah mereka bertunangan.

Bagaimanapun, perasaan yang sekonyong-konyong muncul dalam benak Alana ini tidak serta-merta mengurungkan niatnya ke pertunjukan puisi. Bila semua lelaki keparat di dunia ini akan selalu pergi dengan cara begitu, biar aku kawin dengan puisi, pikir Alana.

Ia ingin ke pertunjukan puisi, mendandani dirinya sedemikian rupa untuk menarik perhatian puisi, dan untuk itu ia mesti membacakan satu-dua puisi miliknya sendiri (yang banal dan kesepian itu). Ia membuat sebuah judul: Lelaki yang Kawin dengan Anjing.

Aku menembakkan cemburu ke dinding. Yang terpantul justru puisimu, yang terbit di surat kabar dan jadi yang paling tenar. Orang-orang dan kau tidak pernah memberinya judul. Aku membuatkannya untukmu sekarang juga: Laki-Laki yang Kawin dengan Anjing.

-A̶y̶a̶ ̶C̶a̶n̶i̶n̶a̶ Alana

Telah kita tahu Alana bersikeras ingin ke pertunjukan puisi demi bisa menghujat kekasihnya yang minggat, tanpa ia sadari sebetulnya sepanjang perjalanan ia sudah berada pada sebuah pertunjukan puisi; ibu-anak dan pengamen itu, luka lama, dan kemalangan dalam hidupnya.

Oh, Alana. dirimu sendiri adalah puisi.*

Tidak ada pesan moral yang bisa kita ambil dari cerita itu. Tidak ada. Hari ini kita hanya tahu sejarah lajangnya Alana sampai hari ini. Ketika hidup begitu brengsek dan Alana dipaksa menikmatinya,** mana mungkin aku tega memenuhi sebuah tantangan menulis dengan tema yang begitu lancang: lajang dan bahagia.

Tidak, demi Neptunus, aku tidak akan menulisnya. Kebahagiaan Alana adalah teka-teki. Tugasku (dan kamu, jika mau) hanya terus mendoakannya.

(*) Cerita “Alana Tidak Jadi ke Pertunjukan Puisi” adalah cerita spontan yang kubuat di instastory yang jalan ceritanya melibatkan pembaca sekitar satu tahun lalu. Lihatlah. Seru sekali!

(**) Diambil dari judul buku Puthut EA. “Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya”.

--

--

Aya Canina
Aya Canina

Written by Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.

Responses (1)