Avianti Armand, Arsitek Kata bagi Tubuh Perempuan
--
theme 5: favourite female writer
Dalam tatanan sosial, tubuh perempuan tidak dirancang tahan gempa, tidak bisa bertahan dari keruntuhan, dan terlalu rentan oleh guncangan. Guncangan ini menyebar ke seluruh dunia, negara, kota, desa, hingga dalam rumah — salah satunya rumah agama. Guncangan yang pada mulanya tidak kita ketahui namanya ini bergetar dengan perlahan dalam rumah itu. Dimulai dari Hawa, seorang perempuan yang para pendakwah sebut sebagai sumber dosa Adam. Kemudian diceritakanlah kisah klasik itu berulang kali. Ratusan ribu kali. Turun-temurun melintas abad. Mungkin buyut dari buyutnya buyut kita adalah salah satu jemaah itu sehingga pantaslah jika kita disebut: anak-cucu patriarki.
Membingungkan. Segala hal yang tidak kita ketahui asal mualanya terdengar seperti omong kosong belaka. “Nun jauh di sana tinggalah seorang tua Patriarki di istana megah. Istana itu dibentengi dengan titah Tuhan & otot-otot lelaki. Konon tidak ada satu pun kekuatan di muka bumi yang mampu membunuh si tua.”
Sejarah, diawali atau tidak diawali dengan kalimat pembuka seprovokatif itu, selalu ada celah untuk kita sangkal, apalagi jika itu berkaitan dengan hegemoni kekuasaan laki-laki dan penindasan kaum perempuan.
Para penulis barangkali adalah satu dari sekian jenis umat yang bersedia menjadi perantara sejarah dan masa kini. Jika benar masa lalu selalu aktual dan agama adalah bagian dari waktu yang tidak bisa diputar itu, mungkin kita memang perlu membaca Avianti Armand lewat buku puisinya, Perempuan yang Dihapus Namanya.
Buku puisi itu — bacalah dulu sinopsisnya dalam tautan goodreads di atas — mengguncang lewat empat nama perempuan dalam kitab Perjanjian Lama yang coba Avianti konstruksi esensi dan eksistensinya. Ialah Hawa, Tamar, Jezebel, dan Betsyeba. Sebagai penganut agama Islam, saya hanya pernah mendengar Hawa, tiga lainnya asing. Yang saya pahami akhirnya adalah mereka semua dimarjinalkan dalam kitab perjanjian lama.
Cuci kakimu, perempuan! Kenakan kasutmu!
Bergegaslah, sebelum hari jadi gelap!
Seekor keledai telah disiapkan
untuk kau tunggangi.
Seorang lelaki sudah menunggu
untuk menunggamimu.
(dalam puisi “Tamar”)
Trivia dalam perkenalan saya dengan Avianti Armand adalah saya mempunyai nol petunjuk saat mengambil buku ini di rak buku-buku puisi Gramedia. Hari itu saya tidak berencana membeli, hanya cuci mata. Mungkin dua hal yang menarik perhatian saya: 1) kata “Perempuan” dalam judul, dan 2) gambar perempuan menyerupai kuntilanak dengan sayap dilatari warna hitam pekat. Wah, saya pikir suasana sampul edisi terbitan tahun 2017 itu begitu menyerupai ragam kemalangan hidup saya. Muram, bahkan tanpa lampu 5 watt.
Buku puisi itulah yang membawa saya menyusuri karya-karya lain Avianti Armand lainnya: Buku Tentang Ruang, Museum Masa Kecil (kumpulan puisi) & Kereta Tidur (kumpulan cerpen). Saya lebih suka lebih dulu mengenali penulis lewat karyanya daripada pribadinya. Keduanya bertaut, tentu saja; pengkarya dan karyanya. Tapi seperti labirin yang senang bermain-main dengan petunjuk, jalan terbaik menuju seseorang bagi saya adalah melalui karyanya.
Tidak sekhatam itu dengan karya beliau, saya mengagumi Avianti Armand mula-mula hanya sebagai seorang penyair. Dalam penelusuran biografi, saya ketahui ia adalah arsitek, mendahului kepenyairannya. Kini lewat puisi-puisinya, khususnya pada Perempuan yang Dihapus Namanya, saya ingin menyebut Avianti Armand sebagai seorang arsitek kata bagi tubuh perempuan, sebab, perlu kita sebut lagi, dalam tatanan sosial, tubuh perempuan tidak dirancang tahan gempa, tidak bisa bertahan dari keruntuhan, dan terlalu rentan oleh guncangan.
Guncangan ini menyebar ke seluruh dunia, negara, kota, desa, hingga rumah — salah satunya rumah agama. Avianti Armand memilih mengunjungi rumah ini, menetap di dalamnya beberapa lama untuk mempelajari maksud terselubung kitab suci ‘menciptakan’ perempuan.
“Tentang mereka semua,” kata Avianti dalam kata pengantar bukunya, “juga perempuan-perempuan lain, kita hanya bisa membaca lagi, menafsirkan lagi, merekonstruksi dunia dan kata-kata yang tersimpan dalam kitab. Itulah yang saya lakukan dalam kumpulan puisi ini.”
Kata perempuan itu:
“Aku belum lagi mengenal aku. Bahkan asalku pun aku tak tahu.”
(dalam puisi “Hawa”)
Hobi wisata masa lalu saya geluti juga untuk beberapa pengandaian receh. Tahun 2011, saat Perempuan yang Dihapus Namanya meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa, saya masihlah seorang bocah perempuan kelas 2 SMA yang jauh dari karya-karya sastra apalagi puisi. Kerjaan saya waktu itu adalah mencari rumus termudah dalam penyelesaian aljabar, menghapal anatomi tubuh manusia, mencari gagasan utama sebuah paragraf dalam soal ujian Bahasa Indonesia untuk menjadi anak pintar kebanggaan papa. Tidak ada pendekatan terhadap puisi. Saya menulis puisi sejak SMP, tapi tidak memiliki pengetahuan atasnya sampai setidaknya 2016, tahun-tahun akhir saya berkuliah di Jatinangor. Jadi saya berandai-andai, di tahun tersebut, nun jauh di sana, di dunia yang tidak tersentuh oleh sore-sore sibuk di Nurul Fikri & bimbel privat matematika, ada seorang perempuan yang menulis perempuan. Saya melamunkan hal ini supaya merasa senang saja.
Hari ini, lebih dari sepuluh tahun usia kumpulan puisi tersebut, saya masih akan mengatakan inilah buku puisi yang akan terus saya baca berulang kali — bait per baitnya, diksi per diksinya.
Tiba-tiba perempuan itu berada dalam sebuah
lembar yang kosong dan putih. Ia duduk dan
melihat bahwa semua tak ada. Di lembar itu ia
mulai melukis dirinya. Dan pada wajahnya:
sebuah cermin. Sejak itu, tak ada yang benar-
benar mengenal dia. Tiap kali orang akan
menemukan seseorang yang mereka pernah
tahu, atau sesuatu yang terlupakan.
(dalam puisi “Batsyeba”)
Dan Avianti Armand — Mbak Avianti, begitu saya memanggil beliau, Akhirnya saya berjumpa dengannya dalam pagelaran Jakarta International Literary Festival (JILF) di Taman Ismail Marzuki bulan Oktober silam. Puji syukur, saya diberi kesempatan tampil di segmen Reading Night melalui ajakan Hasan Aspahani, yang bersama Avianti Armand merupakan anggota Komite Sastra DKJ periode 2020–2023.
Selesai acara, saya mendatangi Mbak Avianti. Dia cantik sekali. Saya ingat dia bilang, “kamu cantik banget, Aya.” Saking berdebarnya, saya lupa berfoto. Sampai kami berjumpa lagi Februari kemarin dalam acara Puandemik Valentine dan kami saling memeluk, saya juga tidak berfoto.
Genap nubuat di luar Yizreel;
“Dicincang anjing daging Jezebel
tinggal kepala dan kedua kaki
untuk santapan malam nanti.”
(dalam puisi “Jezebel”)
Ulasan buku Perempuan yang Dihapus Namanya yang bisa kamu baca:
Ferry Fansuri (tatkala.co, 2017).