Centang Biru Instagram, Cara Seru Menikmati Dirimu

Aya Canina
3 min readAug 10, 2023

maksudku, cara seru menikmati eksistensimu

image source

Centang biru seratus tiga puluh ribu rupiah. Tinggal mengurangi jatah ngopi di coffee shop empat sampai lima kali, kamu bisa jadi artis. Bukankah setiap orang butuh validasi? Kita bisa membayarnya, tanpa perlu benar-benar membuktikan pada instagram kredibilitas diri kita sebagai orang sungguhan di publik (“publik figur” adalah orang sungguhan bagi aturan centang biru, sementara lainnya hanya upik abu). The real person, katanya. Membayar verifikasi untuk akun instagram memberi bukti kepada followers bahwa kita adalah benar-benar seseorang.

Kelaparan di hadapan penonton. Berlomba-lomba menjadi tokoh.

Mungkin dengan centang biru, kita bisa pulang ke rumah dan mengatakan “aku sudah jadi orang seperti yang papa mama minta.” — seolah-olah pekerjaan kita sebagai orang dewasa beres di situ. Mungkin saja, instagram adalah perpanjangan dari cita-cita setiap babyboomer bagi anak-anak mereka.

Supaya seratus tiga puluh ribumu tidak sia-sia, satu langkah mudah: jalan terus menuju pasar. Jangan belok. Seidealis apa dirimu, seperti yang kita sendiri bilang, “semua sudah ada yang ngatur.” Kita tinggal hanya berdagang, sesuai permintaan. Satu yang populer saat ini: jualan keblingsatan hidup dan mental-ilness lewat jalur skena (aduh, sensitif, folks!). Baru atau preloved, daganganmu bakal ludes. Kali ini ERK salah, air mata dan putus cinta tidak lagi milik lagu-lagu ‘melayu’. Kata-kata, lirik, dan petikan gitar yang pernah paling marjinal kini jadi paling maju.

Ada satu kalimat yang kuingat, entah kubaca di mana:

“jika semua di sekelilingmu adalah cahaya, maka kamu hanyalah bayang-bayang”

Pasar memang bisa diciptakan. Bagian itu, ERK selalu benar. Bisa kita bilang, akhirnya ERK sendiri yang merebut pasar itu. Jika yang dilabeli centang biru adalah karyanya, bukan artisnya, lagu itu pantas punya.

Tapi berada jauh dari yang ngatur pasar itu, setiap dari kita pada dasarnya punya kebutuhan untuk diakui. Kondisi psikologis yang pas buat semesta — dan industri. Sepuluh tahun lalu ketika saya diterima di Fakultas Psikologi, saya sendiri butuh pengakuan absolut dari papa saya bahwa saya ada di situ bukan karena “psikologi dekat dengan kedokteran. Tidak apa-apa tidak jadi dokter. Sama-sama nyembuhin orang.” Psikologi adalah psikologi, jauh setelah perjuangan dirinya (pun) keluar dari bayang-bayang predikat pseuodoscience. Hari ini, psikologi bisa dijual. Jadi podcast, konten tiktok, bahkan buku, psikologi bisa jadi uang.

Bangsat. Absurd banget. Pasar kita. Ramai. Oleh orang-orang gila. Yang berobat jalan sambil berusaha mengobati orang lain.

Salahkah semua itu? Waduh, bukankah seperti yang sering kita bilang, semua sudah ada yang ngatur?

Kalau kita punya sisa uang dari ngopi (atau masih bisa ngopi dari sisa uang kita), mengapa tidak beli centang biru itu? Instagram dan kita akan sama-sama untung. Kalau kita merasa hal itu terlalu muluk dan duniawi, ya tulis saja. Siapa tahu kita dibayar. Lalu uangnya bisa buat beli… centang biru itu.

Mengapa tidak? Kayaknya satu minggu lagi instagramku bakal sama birunya dengan Ananda Badudu dan Lesti Kejora. Hehe. Soalnya aku masih belum memenuhi kriteria the real person-nya instagram. Padahal, kan, aku juga manusia. Butuh diakui. Huhu.*

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.