Dari Aya ke Maryam

Aya Canina
3 min readJun 24, 2023

theme 7: your imaginary character — dari imaji ke fakta

Aya

Barangkali saya mesti membayar mahal untuk ketidaksengajaan masa lampau yang membawa saya jauh ke masa kini, satu jalan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Aya Canina, ditulis pada Juli 2016. Itu adalah masa-masa pra-jahiliyah ketika hidup berjalan lurus ke depan, tidak punya simpang, dan jauh dari kemungkinan bertemu kelompok masyarakat toksik.

Dan benar, Aya adalah mawar. Cantik tapi berduri. Siapa gerangan yang hendak menyentuhnya harus tahu diri, usah menggenggam erat kalau tidak ingin berdarah.

Mengutip uraian saya di blog tersebut, lembut menancap tapi tidak brutal. Diandaikan dengan seringan-ringannya tanpa ekspektasi, Aya hadir sebagai putri kecil di kepala saya. Tentu setelah luka, romantisasi patah hati, eksploitasi kenangan membabi buta, Aya ada. Saya mengundangnya. Kebetulan ia memilih menetap sampai naik pangkat. Dari putri kecil menuju putri tidur, alias hanya mau bangun setelah terwujudnya cita-cita utopis: dicium cinta sejati — alias suka berkhayal.

https://www.instagram.com/ayacanina/

Ini Aya, dari metafora ke fakta. Yang memberi saya banyak kesempatan menandatangani berbagai kontrak untuk merayakan (dan meratapi) hidup dengan dibayar (ini seperti membayar tagihan SpayLater dan membeli iPhone 13 dari berbagai kemalangan saya). Yang membangunkan macan betina dengan auman paling menyayat. Yang memberi kesadaran lain bagi kepribadian baru. Yang menghadapi pertarungan tanpa senjata kecuali kata. Yang memilih puisi sebagai rahim kedua setelah ibu.

Maryam

Katakanlah Aya sudah siap untuk abadi. Tapi sebelum namanya dikremasi dan yang tersisa tinggal tulisan-tulisan busuknya, sebagian eksistensi Aya menuntut punya anak. Jadi ia mulai membayangkan nama baru. Sebuah nama yang terasa lebih cantik sekaligus perkasa dibanding namanya.

Setelah (tidak banyak) berpikir, dikatakannya nama itu.

Saya sering mendengar Maryam, tapi hampir tidak pernah menangkap Gitanjali di telinga, meski cuma sekelebat. Entah apa saya pernah memimpikannya atau membacanya sebagai sebuah toko fiksi, saya rasa juga tidak. Karenanya saya coba googling. Halaman pertama pencarian keyword “Gitanjali” menampilkan hasil seragam: Gitanjali adalah sebuah kumpulan puisi dari seorang penyair Bengali bernama Rabindranath Tagore.

https://en.wikipedia.org/wiki/Gitanjali

Gitanjali membawa Tagore memenangkan Penghargaan Nobel di bidang sastra. Apakah seorang kawan sastra pernah menyebut ini kepada saya? Saya lupa. Yang jelas Gitanjali begitu ingin lahir — setelah Maryam.

Ya. Maryam yang tidak bersuami dan melahirkan anak di bawah pohon kurma dan yang seketika sungai mengalir di hadapannya. Maryam binti Imran, seorang Bani Israil, yang menepi untuk meditasi di timur Baitul Maqdis. Perempuan ini, yang namanya disebut 34 kali dalam Al-Qur’an; 19 kali dalam kisahnya sendiri, 15 kali dalam kisah putranya, Nabi Isa.

Mengapa harus Maryam? Saya rasa ia adalah satu contoh dari apa yang saya sebut “ada yang lebih tabah dari Hujan Bulan Juni”. Seorang perawan introvert. Mukjizat itu, entah hadiah atau musibah baginya. Maryam menanggungnya.

Bukan berarti saya ingin Maryam saya menjadi seseorang yang siap ditimpa kesialan hidup (tapi, bukankah perempuan memang dibuat sial kehidupan?). Saya ingin Maryam yang baginya kata “perawan” menjadi satu kata kritis yang patut dikaji. Juga “mengandung”, “melahirkan”, dan “memiliki suami.”

Maryam Gitanjali. Entah dari rahim siapa ia lahir nanti. Rahim Aya atau (setidaknya bisa kita upayakan lebih dulu) rahim puisi.

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.