Hati Suri: Puisi-Puisi yang (Tidak) Menyembuhkan Lukamu
--
Catatan kecil pasca episode 8, kuartet kedua season satu podcast Hati Suri
Kita sambut Abe, (go to his account: @/abeadzka), produser Noice yang membawaku masuk “jurang” ini. Waktu itu, karena belum pernah mendengar padanan kata “Hati Suri”, aku bertanya apa artinya. Tidak ada yang betul-betul harfiah seingatku, pada deck yang kuterima, sebuah jargon tampil memukau:
“menemukan kabar baik dari sebuah kepiluan”
Teringat suri-tauladan, aku merasa jauh dari panutan, Teringat ibu-suri, sepertinya aku terlalu jelata untuk itu. Apakah mati-suri? Tampaknya mati, tapi sebenarnya tidak (KBBI V). Yang terakhir mungkin paling mendekati warna emosiku saat pertama kali diajak slebew bareng Noice. Jadi, aku anggap “suri” berarti menghidupkan yang mati, salah satunya: hati.
Konon, hati adalah organ abstrak paling konkret dalam tubuh manusia. Ia tidak ada, tetapi mereka sering mengatakannya ada. Hati juga benalu yang paling mudah dimaafkan sepanjang hidup manusia. Ia meminjam kerja jantung untuk menunjukkan eksistensinya yang seringkali merepotkan. Berdetak ketika jatuh cinta, berdetak juga ketika putus cinta. Senang atau sakit diampu oleh satu organ multitasking (baca: congkak) itu. Sifat congkak memang menyebalkan, tapi kita akan lebih sering menemukannya bersanding dengan sifat cermin; mudah pecah dan terbelah.
Lantas, apakah maksudnya Hati Suri berarti perekat atau seperti yang kamu inginkan — penyembuh? Agak sulit jika script-nya saja ditulis oleh kelinci betina imut yang masih doyan ngunyah wortel tapi sudah malas melompat bersama teman-temannya (‘imut’ hanya pemanis). Tapi kamu juga tahu bahwa motivator paling ulung sekalipun tidak selalu beruntung. Mereka pincang sebelum tampil sebagai pemenang di hadapan pengikutnya. Tentu aku bukan motivator. Mungkin aku negosiator. Dalam banyak kesialanku, alat negosiasinya seringkali berupa puisi.
Produser dan talent (baca: si kelinci betina imut alias aku) sempat kebingungan sebelum menjodohkan Hati Suri dengan puisi. Aku mengajukan dua mini draft, salah satunya ini:
“Mekanisme Pertahanan Diri” dibuat tanpa bagan tubuh yang jelas. Aku menulisnya seperti aku menulis blog; katarsisnya hanya berfungsi optimal pada diriku. Selain terlalu padat dan singkat, tulisan itu bungah tapi menguncup. Produser memintaku untuk membuatnya mekar; mengarah ke luar, menyediakan serbuk sari bagi lebah-lebah yang kehausan. Tulisannya harus mengandung nutrisi yang pas — tidak lebih, tidak kurang.
Selain itu, hal paling penting adalah tulisan ini akan dilisankan. Kerja utuh diserahkan kepada telinga, indera lain beristirahat. Podcast memfasilitasi manusia untuk menjadi pendengar. Dan menjadi pendengar bukan hal yang mudah. Ini tantanganku.
Siang H-2 tapping episode pertama, aku masih duduk di kafe, melamun dan menulis dengan amburadul. Malamnya, produser meneleponku, mengatakan ini: “Ay, karena udah banyak banget podcast sejenis yang outputnya mengarah ke penyembuhan diri, gue mikir apa yang bisa bikin Hati Suri beda. Kita buat basisnya puisi ya. Kita jadiin ini podcast kontemplasi puisi.” (note: aku menyadurnya agar ringkas).
Oke, aku bilang. Aku sumringah dan bergairah. Aku akan bertemu puisi lagi, jalan pulang sekaligus peta yang membuatku tersesat berkali-kali. Setidaknya, aku sudah mengiggit tidak sedikit judul-judul puisi dan mengunyahnya sepenuh hati. Aku bisa memilih satu, termasuk puisi-puisiku. Saat itu, ketika hati dan otakku mulai sinkron, nama penyair yang pertama kali terlintas adalah Sapardi Djoko Damono. Dan tentu saja, Hujan Bulan Juni. Tidak bisa tidak. Aku akan memulainya dengan yang satu itu.
Aku menonton ulang filmnya, meminta pacarku menafsirkan puisinya supaya aku dapat sudut pandang di luar diriku. Biar semakin mabuk, aku memasukkan Ada yang Lebih Tabah dari Hujan Bulan Juni sebagai respon puisi utamanya. Script episode pertama aku tulis seperti seseorang habis minum obat kuat; bertenaga dan tidak akan berhenti sampai muntah.
Tayang setiap Rabu, Hati Suri telah menuntaskan kuartet keduanya. Delapan episode telah rilis dengan nama penyair dan judul puisi yang berbeda. Tentu saja aku harus berhasil berkontemplasi sebelum menulis kontemplasi. Jalan panjang melingkar berkelok-kelok di kepalaku sebelum sampai pada satu tujuan yang tuntas tidak tuntas, harus bisa dituntaskan. Percayalah, tidak mudah. Tapi manusia tidak akan bisa utuh berkontemplasi jika tidak mau menderita. Menulis adalah proses penderitaan tanpa ujung. Dalam penulisan script Hati Suri, ada riset, penelusuran pengalaman, ditambah yang utama persoalan satu judul puisi yang kupilih.
Sudah sebegini dalam, Hati Suri bagiku bukan hanya sebuah proyek podcast lalu, tapi juga penelusuran kegelisahan internal yang siapa tahu menyerupai kegelisahan massal masyarakat masa-kini-yang-haus-healing. Sebab aku tidak spesial, aku bukan satu-satunya di dunia ini. Rindu, Pulang, Melepaskan, Kesia-siaan, Kehampaan, Terjebak Nostalgia, Menghidupi Diam, Kesepian, dan Patah Hati (tema eps. 1–8) adalah konstruk umum yang telah dialami banyak jiwa dari zaman ke zaman.
Aku kira terlalu muluk menyebut Hati Suri sebagai penyembuh. Puisi-puisi di dalamnya tidak akan menyembuhkan lukamu. Jangan biarkan podcast ini menjadi motivatormu, jadikan ia temanmu. Seorang teman halal untuk tampil apa adanya. Kadang menasehatimu, kadang hanya ikut merasakanmu. Ia tidak selalu punya jargon pamungkas. Ia sunyi bersamamu.
Malam ini Hati Suri tayang episode baru. Semoga telingamu masih berkenan.