Ia Meminjam Wajah Puisi: Sebuah Memori

Aya Canina
2 min readSep 20, 2020

Day 3 Writing Challenge: A Memory

Di luar dari keyakinanku yang menganggap hidup di masa lalu adalah sebuah peluang — bukan kemalangan, memanggil kembali memori, yang baik maupun yang buruk, penting dilakukan untuk merefleksikan diri kita hari ini. Kali ini sebaiknya aku mencatut cukilan memori baik demi menjaga manis pelangi yang diciptakan lelaki Neptunusku sepanjang hari Minggu ini.

Inilah Ia Meminjam Wajah Puisi, anak pertama dari buah cintaku bersama puisi selama empat tahun kami menjalin romansa. Lahir di Yogyakarta bulan April silam, berbobot fisik kurang dari 1 kg (bobot batinnya seberat petualangan Ahasveros), berjenis kelamin ganda tergantung siapa yang memilikinya.

Seperti pada kelahiran anak lainnya, nama yang kupilih untuk anakku ini tentu punya ceritanya sendiri.

Setahun lalu, tepatnya bulan Maret 2019, dipacu obsesi menulis yang menggebu, aku datang dari Bandung ke Jakarta naik Argo Parahyangan. Kubawa serta badan, buku puisi Melihat Api Bekerja, buku catatan berisi banyak sekali coretan mentah dan angan-angan jadi penyair sungguhan.

Itu adalah sebuah acara perjumpaan puisi yang diadakan Kelas Puisi. Ada Hasan Aspahani di sana. Penyair dan guru puisi yang kita cintai itu memberi ceramah puisi singkat. Aku tak lagi begitu ingat detail materinya kecuali beliau banyak menyebut Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono. Berulang kali dalam pemberian contoh pemaparannya.

Itu tentu menarik, tapi bagian yang lebih menarik adalah kompetisi setelahnya: lomba menulis on the spot. Selembar kertas kosong, 60 menit durasinya, tanpa alat bantu apa pun, dan sebuah tema: puisi. Ya, temanya adalah puisi. Dan ini yang kupikirkan waktu itu: 1) bagaimana jika Alana menjelma puisi atau2) bagaimana jika Alana meminjam sifat puisi. Hasilnya seperti yang kamu saksikan sekarang: aku memilih kemungkinan yang kedua, tapi tidak ada Alana di sana. Hanya ada ia. Sebab akhirnya kuamini, siapa pun berpotensi meminjam wajah puisi: yang Medusa dan yang tidak menyelamatkan apa pun.

instagram.com/ayacanina

Dan inilah dia. Waktu itu sudah lebih dari jam sembilan malam, hampir mendekati jadwal kereta pulangku. Nama anakku ditasbihkan di kursi nomor dua. Kukumandangkan sekujur baitnya di hadapan semua. Itu adalah hari di mana tidak ada yang istimewa selain derasnya alir air terjun di dada: rasa puas dari seorang penulis puisi kerdil yang sedang mencari jati diri — jauh sebelum sebuah penerbit dari Yogyakarta itu datang dan meminta kesediaanku untuk meminangnya.

Memori baik mungkin tidak punya kalimat sebanyak memori yang penuh darah. Sebab ia membuncah dan kata-kata jadi serupa konfeti: ringan, terlampau meriah, jatuh, disapu setelah pesta usai. Tapi yang baik akan tetap baik dan ia mesti senantiasa dipelihara di antara luka-luka yang lebih menjual.

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.