Mekanisme Pertahanan Diri

Aya Canina
3 min readJun 23, 2022

Selamat pagi, kamu. Sudahkah bangun dan cuci muka? Sudahkah kamu tengok putih dan kuning telur di langit dari kisi-kisi jendela? Sudahkah kamu tekuri warna jingga campur kelabu di seluruh tubuh dinding kamar? Sudahkah kamu belai ilalang yang tumbuh di kasur yang kamu tiduri? Sudahkah kamu pindai wajahmu di telapak tanganmu? Belumkah? Tak bisa tampak semua itu? Tentu, aku pun yakin. Sebab saban hari kamu memilih bangun dengan segudang barang rongsokan di kepala,

Kamu pergi ke kamar mandi, bercermin, dan menemukan satu lagi kerutan di dahi. Bibirmu kering, kau lupa pakai pelembab. Biarlah, katamu. Biar sepadan dengan cintaku yang kerontang. Semalam kamu bermimpi buruk. Ada om-om dengan kumis simetris memintamu jadi sugar baby-nya. Ia bersedia memenuhi seluruh kebutuhanmu asalkan kamu memenuhi seluruh keinginannya. Dan keinginannya hanya satu ini: setiap malam ketika kalian bersama, kamu harus membacakannya cerita-cerita detektif sampai ia benar-benar bisa menebak siapa pembunuhnya. Itu aneh sekali. Tapi karena itu mimpi, kamu tidak bisa protes sekalipun kamu memiliki alternatif alur cerita. Kamu bersedia jadi sugar baby-nya dan menjadi pendongeng. Ketika kamu akan menagih janjinya untuk membalas jasamu, kamu terbangun dengan mata membelalak. Sial! umpatmu. At least gue minta… apa? Balenciaga?

Tidak. Bukan itu yang kamu minta. Kamu tidak peduli apa merk tas, baju, bahkan kutangmu. Kamu tidakbutuh validasi melalui apa yang melekat di tubuhmu. Harga fantastis dan puja-puji tidak bisa mengelabui kesepianmu. Kamu berpikir tentang itu sambil menyikat sisa suwir ayam geprek semalam di gusimu. Sambil terus bercermin, pagi buta itu, saking kesepiannya, kamu berharap ada penampakan hantu lewat di belakangmu. Kamu tertawa. Mana mungkin. Bahkan hantu tidak ingin bersama orang kesepian (mereka lebih menyukai orang yang ketakutan). Kamu bukan penakut. Orang mandiri sepertimu tidak takut pada apa pun, kecuali: kesepian.

Kesepian begitu berbahaya bagi usia mudamu. Kamu masih muda dan belum siap kalah, tapi kesepian mengambil satu langkah di depanmu. Kamu sebenarnya bisa meminimalisir itu. Lima hari dalam seminggu kamu berangkat kerja naik bus. Jika kamu menyapa satu saja orang asing yang duduk di sebelahmu dan mencoba menengok sebentar ke arah keningnya (jika kamu terlalu takut menatap matanya), kamu mungkin akan menemukan keriput yang sama seperti yang keningmu miliki. Kamu mungkin akan melihat jempol orang itu mengetik cepat sekali di gawainya, seolah-olah layarnya bisa meledak kapan saja. Tapi punggungnya begitu bungkuk dan bengkok ke kanan. Kamu berpikir ia telah kehilangan fungsi normal tulang belakangnya. Kamu mungkin juga akan melihat orang lain yang memiliki senyuman asimetri atau bentuk telinganya terlalu melengkung. Banyak perempuan sebayamu di bus itu, yang pantatnya kerap bergeser ke kanan-kiri berharap lekas sampai halte berikutnya, yang blusnya begitu ketat dan membuatmu berpikir mengapa kamu tidak bisa seberani itu (apakah perempuan butuh keberanian untuk memilih baju yang ingin mereka pakai?).

Jika kamu mau melakukan pengamatan itu, barangkali kamu akan lebih tidak mengasihani dirimu sendiri. Ada banyak hal-hal tidak bahagia yang tidak selesai dituntaskan satu malam sehingga bau apeknya memenuhi hawa busmu.

Setidaknya kamu bisa berlatih.

Untuk ini semua, aku berikan lagi padamu puisi satu ini:

Mekanisme Pertahanan Diri

Tunggu dulu. Sebelum kau beranjak

ke video tiktok berikutnya,

kita letakkan dulu sisa dua giga itu.

Kau hanya perlu meraba

keempat sisi dinding kamarmu.

Temukan jantungnya.

Mereka tidak butuh interior, sebenarnya.

Mereka hanya mau lihat jiwa mudamu

yang bebad dari teror.

Lagipula satu-satunya yang perlu

dilapisi cat anti bocor adalah

jam tidurmu yang keropos.

Lihat, di pintu itu tidak pernah ada yang pergi

sebab tiada satu pun sejak semula yang pernah pulang.

Kau satu-satunya pelancong yang bebas ongkos.

Masinisis bagi perjalananmu adalah cerita-cerita dulu.

Para penumpangnya nangkring di pundakmu.

Tapi kau terus saja begitu.

Tidak menangis, tapi terguncang.

Sehingga mereka tidak bisa lagi membedakan

mana wajahmu, mana yang palsu.

Padahal sebentar lagi kondektur akan mengitari kamarmu

mencari tiket pertunjukanmu

menandai episode manik yang pontang-panting di keningmu.

Perjalanan ini berhenti seperti penyair

yang kehabisan kata-kata.

Pura-pura memang wahana paling

mengasyikkan bagi superegomu.

Sedikit lagi.

Sebelum video tiktok berikutnya,

setelah dering puisi ini mati,

percayalah

kau masih terlalu muda untuk kalah.

(Bekasi, 2021)

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.