Mengubur Mimpi Mati Muda

Aya Canina
4 min readFeb 4, 2023

theme 1: why you must be in this world

Photo by Drew Beamer on Unsplash

Mungkin enam tahun lalu, ketika pertama kali membaca Hujan Bulan Juni dan mendengar lagu Resah sementara tidak ada persiapan untuk ditinggalkan, aku bercita-cita mati muda. Waktu itu usiaku masih 21, masih tolol perihal cinta, apalagi cinta kepada lelaki yang meminjamkanku buku puisi Sapardi dan memberi-dengar lagu-lagu Payung Teduh. Bagian tolol yang kumaksud adalah aku tidak menyadari lelaki yang suka Sapardi dan Payung Teduh juga bisa jadi bajingan. Jadi aku bilang ke diriku, “segalanya berhenti di sini”.

Tapi segalanya tidak berhenti di situ. Sejauh yang aku amati, efek samping ketololanku terbagi dua: 1) menjadi semakin tolol; 2) menjadi penyair. Tidak ada yang lebih baik di antara keduanya — menjadi penyair bisa jadi tolol ketika upaya ini diprioritaskan di atas upaya menjadi manusia. Efek samping kesatu membawaku pada aplikasi kencan dengan repitisi kegagalan dan jebakan hubungan heteroseksual toksik, yang kedua membawaku pada kelahiran buku puisi pertamaku dan lagu-lagu itu.

Ia Meminjam Wajah Puisi & Kukira Kau Rumah (beserta lagu-lagu lain) — meski melaluinya sambil berdarah-darah, membuatku tidak mati muda. Lantas, jika tidak mati muda, apakah itu berarti aku hidup? Ya— meski melaluinya sambil berdarah-darah. Sampai usiaku 28 tahun 13 hari.

28 tahun 13 hari. Mengapa aku harus ada di dunia ini? Mengapa aku harus ada, sementara aku tidak pernah minta dilahirkan ke dunia? Membingungkan. Mengapa aku tidak mati muda dalam waktu dekat? Belum terlambat untuk itu. Jika atas nama dosa & agama, perenungan kita berhenti saja tepat di depan kening. Kita sudah tahu jawabannya. Jika atas nama keluarga dan orang-orang yang mengasihi kita, itu bisa didebatkan. Jika atas nama Simone de Beauvoir, buku puisi kedua, dan proyek menulis ini, alasanku akan jauh lebih realistis dan relevan.

Jadi, inilah tiga alasan mengapa-aku-(masih) harus-ada-di-dunia-ini:

1. Membaca Simone de Beauvoir

Empat orang memberiku kado ulang tahun: papa-mama, adik ipar, pacar, dan sahabatku. Kecuali adik ipar, semua kado dari mereka aku sendiri yang minta. Adalah Agnicia Rana, sahabatku, yang kumintai kado buku. Spesifik, harus Second Sex-nya Simone di Beauvoir. Dua jilid buku sekaligus. Ketika datang, “oke, aku akan menyelesaikan ini selama sebulan.”

Ini sudah sepuluh hari, bacaku seperti siput parkir.

Progres. Membaca Beauvoir berarti membaca perempuan. Setelah menuntaskan dua buku Ester Lianawati yang jelas-jelas menunjukkan dirinya sebagai seorang Beauvoirian dalam banyak argumentasinya tentang feminisme, rasanya tidak kafah jika aku tidak membaca kitabnya langsung. Seperti ketika pertama kali membaca Sapardi tahun 2016, membaca Beauvoir tahun 2023 terasa seribu kali terlambat. Dan itu tidak apa. Kita selamanya pembelajar dan selalu menjadi pemula bagi suatu hal.

Mengapa aku perlu alasan ini? Sebab ternyata membutuhkan nyawa & gairah untuk membaca Beauvoir. Sebuah paragraf dalam kata pengantarnya:

Banyak laki-laki menegaskan bahwa perempuan setara dengan laki-laki saat mereka dalam keadaan senang dan tidak menuntut apa-apa. Sementara pada saat yang bersamaan mereka akan mengatakan bahwa kaum perempuan tidak akan pernah setara dengan laki-laki sehingga berbagai tuntutan mereka (re: perempuan) akan sia-sia saja.

(Beauvoir, Buku Satu: Fakta dan Mitos, Hal. xxvi)

Tidak mungkin memaknai dua kalimat itu saja tanpa mengetahui aku sedang hidup saat ini. Tidak mungkin aku akan mampu menelan 375 halaman buku itu jika gairahku kosong, jika nyawaku hanya separuh. Aku butuh tahu aku sedang menggunakan segenap hati & pikiranku untuk mendalami seorang feminis dan filsuf eksistensialis Perancis abad ke-20 yang bukunya masih relevan dalam dunia patriarki modern.

“Seseorang tidak dilahirkan, melainkan menjadi seorang perempuan” -Simone de Beauvoir

Aku hidup (terima kasih, Tuhan). Ternyata aku hidup.

Barangkali aku butuh hidup minimal 60 hari lagi untuk menyelesaikan dua jilid buku Second Sex, sisanya mari menuju alasan kedua.

2. Buku puisi kedua

Alasan terbaik mengubur dalam-dalam mimpi mati muda barangkali adalah buku puisiku masih tunggal. Kepayahanku dalam menulis dibarengi rentetan episode kelelahan mental panjang membuatku kaku & gagap. Untuk menjadikan buku puisiku sulung, aku mesti melahirkan yang kedua. Kabar baik, ada jalan. Kabar lebih baik, mungkin butuh hidup lebih kurang 180 hari dari sekarang untuk menyiapkan kelahirannya dan minimal 180 hari tambahan untuk merayakan kelahirannya.

360 hari. Aku punya alasan untuk ada di dunia ini.

Penyair yang Jatuh Cinta, salah satu puisi dalam buku “Ia Meminjam Wajah Puisi”

3. Proyek menulis tiga dara

Selamat datang di proyek menulis kami!

Ada 30 tema yang kami buat (kami benar-benar menentukannya sendiri). Sebab ini tantangan mingguan, kami butuh 30 minggu atau 210 hari untuk menyelesaikannya.

Dulu aku berdua dengan Agnicia Rana menginisiasi ini dengan penuh sukacita. Tapi kami menyerah di tema ke-13 sebab situasi-kondisi chaotic berlangsung berbulan-bulan lamanya. Aku tidak mampu menulis selama masa-masa awal dirujuk ke psikolog atas kasus kekerasan dalam pacaran (KdP) yang kualami, sementara Rana bahkan kehilangan hampir 13 kg bobotnya setelah mengetahui (mantan) suaminya menjadi babi; selingkuh dan tidur dengan selingkuhannya. Hari-hari yang penuh dengan udara patriarki. Kami mati & mati suri waktu itu. Mustahil menulis dengan pikiran jernih.

Kali ini kami bertiga. Menampilkan Ayyara Fay Japakyati (bisa kita panggil ia: Faye) yang akan membersamai perjalanan menulis ini selama 30 minggu ke depan.

Faye, Rana, dan Aya edisi piknik di Taman Ismail Marzuki

Aku hidup (terima kasih lagi, Tuhan).

Dalam tugas positive journal yang diberikan psikologku, aku diminta menulis tiga hal baik yang terjadi setiap harinya. Hari ini, satu dari tiga hal baik itu adalah “aku berhasil merumuskan dengan asyik 3 alasan terintim mengapa aku (masih) harus ada di dunia”.

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.