menikah atau tidak menikah, hidup sama bajingannya
[1]
buat saya, menikah adalah satu dari sekian pilihan tentang seperti apa seseorang ingin menghabiskan hari tuanya.
setiap orang pasti menua, tapi tidak setiap orang pasti menikah. entah belum atau tidak mau, keputusan itu dipengaruhi berbagai faktor: prinsip, pengalaman masa lalu, atau ya “emang belum aja”. kita toh tidak benar-benar bisa menyentuh inti jiwa orang lain.
perihal agama, saya telah berteman dengan kebaikan-kebaikannya. yang saya tahu agama tidak bertanya pada kita ‘kapan nikah’ seperti yang dilakukan para pakde, bude, sepupu, dan tetangga. agama tidak menuntut, ia menganjurkan.
[2]
yang jelas, saya paham menikah bukan jalan keluar atas masalah hidup.
kelak memiliki suami tidak bisa memerdekakan saya dari histori trauma jika saya sendiri tidak memilih pulih (bagi saya pulih adalah tindakan yang membutuhkan kemauan; seperti lapar yang tidak serta-merta membuatmu memutuskan makan kalau kamu gak segera masak, jalan ke warteg, atau gofood).
pernikahan bukan subtitusi lebam biru masa lalu.
[3]
(saya membayangkan) setelah pesta dan vendor-vendor dilunasi, hidup saya akan kembali pada setelan masyarakat kelas menengah yang kudu rutin bayar pajak tiap tahun, sementara KPR mulai berjalan dan kasur sudah mesti dibeli karena sungguh tidak enak bermesraan di dingin lantai.
percakapan seputar sarapan apa besok pagi dan apa yang harus kita hemat supaya bisa membeli anu dan staycation ke tempat inu mungkin tidak selalu romantis apalagi puitis.
[4]
hal-hal bisa terjadi di luar kontrol diri. bagi saya, jika itu adalah murni kehendak saya tanpa ada paksaan dan dominasi dari pihak mana pun, maka saya adalah manusia merdeka.
[5]
saya bisa membayangkan dengan gembira diri saya yang lajang menua di panti jompo atau membangun rumah dengan satu-dua teman perempuan yang juga lajang dan melakukan hobi bersama (manifesting punya uang 271 triliun). saya juga bisa membayangkan menjadi seorang istri, berbagi ranjang dengan lelaki yang ngorok dan bau kentutnya akan saya kenali seumur hidup. pun, saya tidak keberatan membayangkan tidak menjadi keduanya; mati muda dan bereinkarnasi menjadi pohon kelapa.
[6]
saya memilih menikah (semoga besok masih punya umur). dan saya yakin, hidup akan sama bajingannya. untuk meminimalisir efek negatifnya, menikahi seseorang yang sehat secara emosional, punya gairah atas hidup, mau memasak (saya gak jago masak), tidak masalah punya atau tidak punya anak, dan tetap mempertahankan sikap konyol sedikit tolol khas bocil, saya rasa itu bisa jadi win-win solution.
special note: laki-laki yang tahu dengan pasti angle fotomu memiliki nilai yang lebih dari setengah solusi hidup ini.
oke. aman, ya?
dari kami yang akan menikah,
@katatuannona