Menjemput Pulang

Aya Canina
3 min readSep 25, 2020

Day 5 Writing Challenge: Your Parents

Ilustrasi oleh Dorothy Handsaker (via Pinterest)

Ilustrasi di atas ialah pendukung dari imajinasi sebuah keluarga yang setiap malam berkumpul. Sang ayah mendongeng, ibunya memangku sambil memikirkan menu sarapan besok pagi. Anak-anak duduk manis seperti tidak akan ada bahaya yang terjadi. Jendela rumah mereka lebar. Gelap malam masuk dengan bebas, tapi mereka tidak khawatir akan ada beruang buas yang tiba-tiba mengintip. Barangkali situasi seperti ini yang mendorong munculnya istilah ruang keluarga dalam sebuah rumah.

Sementara di rumah ini, hangat dan dingin seperti pancaroba; peralihan musim yang seringnya tidak menentu. Yang terjadi biasa saja, seperti pada umumnya: papa pulang kerja dan letih, mama memasak dengan semangat keibuan yang menggebu, sementara anak-anaknya berbagi tugas: aku menyiapkan alat makan, kedua adikku duduk menunggu. Suasana sehari-hari. Sejak dulu. Tidak ada yang istimewa. Dan tidak ada yang istimewa berarti tidak ada yang begitu surgawi seperti lukisan-lukisan keluarga utopis, juga tidak ada yang menyakitkan seperti kisah keluarga Khong Guan.

Di meja makan, kami berdoa dan bersyukur dengan lahap. Setelah perjamuan selesai, perjalanan kembali berlanjut. Di sinilah pancaroba itu terjadi. Tapi seperti dalam cerita-cerita anak, setiap kisah keluarga selalu diawali dengan semua hal tentang ayah dan ibu.

sourcer: Pinterest

Papa dan mama adalah dua individu yang berbeda dan selamanya akan begitu. Papa adalah sarjana komputer dan magister keuangan, sementara mama sejak sekolah menengah memilih bahasa sebagai passion dan itu membawanya menjadi sarjana muda bahasa inggris. Dari informasi sederhana ini, bahkan sudah bisa kutampakkan tabir di antara keduanya:

  • Papa gemar merinci segala hal agar berjalan pada tempatnya (dulu kami, anak-anaknya, diminta membuat rencana pengeluaran tiap bulan untuk dapat uang saku), sementara mama gemar meronce kabar-kabar terkini dari seantero linimasa. Tetangga, misalnya. Kemampuan mama ini tentu penting. Bagi sifat papa yang tertutup dan cenderung kaku, di rumah ini mama adalah radio tanpa lagu dan iklan.
  • Papa begitu akademis dan ini membuatnya menerapkan aturan yang ketat bagi anak-anaknya: “hidup dalam koridor atau kalian akan sengsara!” Peringkat kelas adalah perkara penting. Masa sekolah dulu, kami kerap berpindah-pindah tempat bimbel (sekarang aku sadar itu terjadi sebagian besar atas manifestasi dari ambisi dan kecemasan buta papa), sementara mama — kalau saja ia bisa lebih bebas — adalah seniman bagi dirinya sendiri. Masa remaja mama dihabiskan di sanggar tari. Ia memilih tari bali dan pernah tampil di TVRI. Mama belajar bahasa perancis di IFI (Institut Français d’Indonésie) Jakarta dan itu seksi sekali! (seandainya ini tidak ia lupakan, aku tentu tidak cuma sekadar tahu bonjour atau je t’aime). Sekarang kamu tahu siapa yang pertama kali mendukung dan percaya ketika aku bilang aku menulis buku puisi.
  • Ketika dalam keadaan normal, papa adalah orang yang dingin dan tidak ekspresif, sementara mama begitu pemurah dan mudah menjadi dekat dengan siapa saja, dalam situasi yang tidak menyenangkan yang terjadi justru sebaliknya: papa marah dengan bahasa verbal, sementara mama memilih kecewa dalam diam.
  • Papa senang mengadakan musyawarah. Apalagi ketika kami sudah beranjak dewasa seperti ini, dalam tiap perkara penting, papa akan mengambil satu waktu khusus untuk mengumpulkan kami semua di ruang keluarga dan dengan runut menjabarkan persoalannya, sementara mama seringnya membangun komunikasi interpersonal, berupaya menciptakan intimasi, dan rasa aman.
Ilustrasi oleh Haddon Sundblom (1899–1976) (via Pinterest)

Aku ingin merasakan tubuh ibu membungkam dada, pikiran-pikiran jauh dan jalan panjang. Kakiku ingin jadi luka yang dibalut ibu dengan kata seru yang sendu. Menjadi yang paling menangis untuk bisa jadi sembuh.

-Aya Canina, dalam puisi “Menjemput Pulang” (2017)

Bahkan di seperempat abad usiaku sekarang, aku masih tidak bisa betul-betul berhasil mengeja mereka berdua. Bagiku, mereka serupa teka-teki silang yang selalu tidak rampung dipecahkan. Hari ini aku kembali mengerti, cara terbaik mengurai keberadaan mereka di dunia ini dan sebagai upaya bagi diriku untuk menjemput definisi pulang yang sebenarnya adalah dengan puisi: implisit, metaforis, konotatif, di waktu bersamaan sanggup menyentuh sampai ke tulang.

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.