Pada Akhirnya Kita Harus Memilih

Aya Canina
2 min readApr 1, 2023

Atau Kita Mati di Sini

Photo by NASA on Unsplash

Mari aku ajak kamu berhenti tepat di stasiun biru. Di stasiun itu, segalanya berwarna biru. Gerbang utara, pintu masuk utama, dihiasi papan petunjuk arah berwarna biru tua. Aku melihat tanda panah atas, itu berarti lurus terus. Tujuanku ada di depan — seharusnya begitu, seringnya ia tertinggal di belakang. Hujan sepanjang hari, sepatuku meninggalkan jejak becek berwarna biru basah. Aku ini laut, arahku tak terhingga. Aku berjalan sampai ujung peron, tempat harapan paling pasrah diletakkan. Lagipula di sini letaknya gerbong khusus betina. Aku tidak akan bisa sembarang kawin di dalam. Tidak ada jantan, tidak ada jantan yang itu. Jantan yang itu sedang berkemas dan tidak pernah berangkat. Aku meninggalkan sarung tangan dan beberapa nama, tapi aku berangkat.

Aku berangkat. Kamu bisa lihat aku berangkat. Seandainya kereta ini Orient Express, pembunuhan paling biru pasti akan terjadi di sini. Dalam khayalanku, aku bisa jadi detektif. Yang terjadi aku terus mencari petunjuk dan tidak bisa menemukan keping puzzle terakhir. Puzzle, meski itu disebut permainan, kita dituntut menjadikannya utuh. Kenyataannya yang utuh di sini hanya kehancuran. Keping-keping puzzle itu mempermainkan dirinya sendiri. Sayang seseorang sedang sibuk berkemas dan tidak pernah berangkat.

Biru kaca gereja. Sesuatu mendoakanku ketika aku sedang mendoakan sesuatu. Mungkin sarung tangan yang kutinggal. “Semoga Tuhan melindungi sidik jarimu.” Aku memandangi telapak tanganku. M untuk Malapetaka dan Mylanta (selain kena sial, kadang-kadang aku kena maag). Telapak tanganku menyentuh telapak tanganku yang lain. Gurat-guratnya terasa lembut, tidak berubah mungkin selama aku bertumbuh. Aku mencuci piring, tapi tidak memasak, apalagi mencangkul. Menua dengan leha-leha dan tetap saja punya trauma. Sesuatu yang lain mendoakanku. Aku harap begitu.

365 hari dikalikan dua kereta ini akhirnya tiba. Dari kejauhan, aku tidak melihat ada yang menunggu. Mungkin ada, tapi mungkin itu ilusi. Segalanya kubawa, kecuali sarung tangan dan beberapa nama. Satu dari sekian nama itu memiliki warna biru yang hanya bisa kita lihat dari dokumentasi NASA (foto itu ada di atas). Sejak lama tata surya menyebutnya dengan nama: Neptunus. Jauh setelah hari itu, di sini, ketika seseorang terus berkemas dan selalu gagal berangkat, nama itu semakin membiru; lebam dan tidak tumbuh.

Sebuah nama abadi, kecuali kita menghapusnya.
Aku menghapusnya.

Sidik jariku tidak pernah menempel di tiket perjalanan yang tidak pernah kamu beli. Pada akhirnya kita harus memilih, atau kita mati konyol karena terus-terusan berkelahi dengan ekspektasi.

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.