Pengkhianat Terbesar Adalah Dirimu Sendiri

Aya Canina
4 min readOct 14, 2023

theme 8: betrayal (cc: Agnicia Rana & Ayyara Fay Japakyati)

Sebelum meminta orang lain tidak mengkhianatimu, berhentilah mengkhianati dirimu sendiri. Lawan dari berkhianat adalah setia. Maka sebelum meminta orang lain menjalin hubungan jangka panjang denganmu, kawinilah dirimu sendiri.

Aku pernah ditinggal sahabat, aku pernah ditinggal orang yang kusebut kekasih. Saat itu aku kira mereka berkhianat atas segala yang sudah kami bangun bersama; waktu, pola pikir dan kesamaan interest, juga janji-janji masa depan.

Rasanya buruk sekali. Tidak ada yang dapat mengalahkan kesedihan dari mengetahui kita adalah pihak yang ditinggal. Dalam keadaan begitu, hidup pasti bersifat hitam-putih dan kategoris mutlak antara jahat-baik, benar-salah, setan-malaikat, bajingan-baik budi.

Waktu itu jelas aku meyakini diriku sebagai lawan dari kutub negatif. Jika dirunut asal muasal dan peristiwanya, keyakinan itu gak salah-salah banget, kok. Sampai hari ini, setiap artikel dan seminar yang kusimak menyatakan betapa penting support system bagi penyintas kekerasan. Jadi, aku rasa seharusnya significant person di sekelilingku saat itu menemani, bahkan mencoba bertindak atas situasi abusive-ku.

Tapi ternyata, seburuk-buruknya orang lain meninggalkan kita, jauh lebih buruk jika pihak yang meninggalkan adalah pihak yang sama dengan yang ditinggalkan. Ialah: diri kita sendiri.

Tidak ada teori atau pandangan khusus yang menyertai tulisan ini. Pengalaman adalah guru terbaik. Trial-error metode dan dinamika pemulihan memberitahuku tentang kebenaran hal tersebut.

Untuk menjadi pihak yang ditinggal, kita mesti dulu merasa dicintai. Sementara kita hanya bisa merasa dicintai oleh “seseorang” — tidak bisa oleh orang asing. Seseorang itulah yang padanya kita melekatkan diri. Sebuah ikatan terjadi. Sewaktu-waktu ikatan itu dapat lepas.

Itulah, kita hanya bisa ditinggalkan oleh seseorang yang pernah memiliki ikatan dengan kita.

Sekarang bayangkan memiliki ikatan dengan dirimu. Bayangkan kamu menjalin relasi dengan dirimu. Dengan histori yang membentuk kepribadianmu hari ini, tentu saja akan banyak kemungkinan yang terjadi.

Kalau kamu punya masa kecil yang mengonstruksi positif tumbuh kembang bukan hanya fisik, tapi juga jiwamu, besar kemungkinan kamu akan jadi individu yang aman. Jika tidak? luka masa kecil akan berkembang biak menjadi biang keladi atas peristiwa-peristiwa tidak terduga yang tidak pernah kamu antisipasi sebelumnya.

Satu waktu aku meninggalkan diriku. Satu waktu aku hidup dengan memusuhi diriku.

Pasca-trauma KdP (Kekerasan dalam Pacaran) yang kualami, aku seperti berada persis di tengah-tengah jembatan gantung yang panjangnya tidak terukur. Aku hanya dapat mengira aku sudah berjalan begitu jauh. Apa yang coba aku jauhi jelas adalah kejadian-kejadian abusive itu. Konsekuensinya adalah aku juga harus menjauhi apa yang telah menyertai perjalananku sejauh ini. Tidak apa-apa. Aku harus pergi dari itu semua. Kemana? Itulah yang aku belum tahu.

Di tengah jembatan itu aku kerap berhenti. Jalan, berhenti, jalan, berhenti. Maju terasa salah, mundur lebih salah lagi.

Menghadapi situasi pasca-trauma seperti itu seringkali membutuhkan kejelian atas pilihan respon fight or flight — berjuang atau lari.

Ya, aku sering lari.

Alih-alih melakukan percakapan tentang ketakutan yang bersarang, tentang papa yang jarang memberi apresiasi, tentang mama yang subordinat atas sikap keras papa, tentang pencapaian-pencapaian yang disembunyikan, dan perasaan mungkin diabaikan secara emosional oleh laki-laki, aku memilih tidur larut malam bersumuk dengan hal-hal abstrak.

Kamu tahu kamu telah begitu jauh meninggalkan dirimu ketika:

  1. Kamu lebih sering meminta, bahkan menuntut, perhatian dari significant person (orang-orang yang punya peran penting untukmu. Bisa orang tua, sahabat, pacar, dsb) ketimbang melakukan upaya memperhatikan dirimu sendiri. Ingat, segala hal yang berada di luar dirimu adalah yang di luar kontrolmu. Semakin kita mencoba mengendalikan hal-hal di luar kontrol, semakin gilalah kita.
  2. Kamu enggan memulai kebiasaan-kebiasan baik (misalnya, memulai olahraga, mencoba meditasi, melakukan journaling, membaca tulisan-tulisan yang relate dengan isu dirimu— yang berpotensi mengubah hidpmu 180 derajat ) atas alasan “aku gak tahu harus mulai dari mana karena hidupku sudah seberantakan ini”. Padahal, inti dari memulai adalah… ya, memulainya.
  3. Buat beberapa orang, feeling lost kerapkali dihubungkan dengan kurangnya pengalaman spiritual. Itu juga berlaku buatku. Mungkin saja, kamu telah begitu menjauh dari hati nuraninu sebab kamu juga lari dari Tuhanmu.
  4. Kamu membiarkan masalah utamamu menggantung berlarut-larut. Akhirnya kamu membelot kepada hal-hal yang menenangkanmu sementara. Alih-alih mencari terapis, kamu menghabiskan uangmu untuk liburan, nonton konser, minum alkohol, belanja barang-barang tersier — yang tentu saja itu sah. Tapi isu utama dalam dirimu tidak hilang setelah semua kesenangan itu habis, setelah tuak tinggal sisa aroma busuknya, setelah lampu disko dipadamkan.
  5. Kamu terlalu banyak menggunakan mekanisme pertahanan diri sebagai excuse perilaku toksikmu (setiap orang punya toxic trait-nya masing-masing). Ini tentu bukan seluruhnya kesalahanmu. Kamu dibentuk oleh pengalaman traumatis yang membuatmu lebih waspada terhadap situasi mengancam saat ini. Tapi jika tujuanmu pulih, maka hadapilah fakta-fakta tidak menyenangkan atas dirimu, pelajari polanya, dan atasi itu.

Sebelum meminta orang lain tidak mengkhianatimu, berhentilah mengkhianati dirimu sendiri. Lawan dari berkhianat adalah setia. Maka sebelum meminta orang lain menjalin hubungan jangka panjang denganmu, kawinilah dirimu sendiri.

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.