Resep Pancake
theme 4: traumatized event
Subuh terbit seperti yang lalu-lalu. Kiona membuka mata dengan enggan. Di muka pintu, ibunya masih mengetuk-ngetuk. Barangkali ketukan kesepuluh sampai ia menyahut, “ya, Buuu!” dan beranjak dari kasurnya. Kiona menyeret kaki dan sisa mimpinya ke hadapan cermin. Sudah hari ketigapuluh. “Saban malam aku berdoa tapi yang kudapat cuma subuh yang sama,” gumamnya. Tidak ada yang menyahut, tentu saja. Cermin tidak punya lidah. Sekujur tubuhnya terbuat dari kaca yang cuma bisa memantulkan realita. Di kamar Kiona, realita tersebut dipampang serupa lukisan pada sebidang kanvas lusuh yang tidak laku. Usang dan berdebu. Dinding tempias, meja belajar lapuk, sekotak besar alat makeup (sebagian besar kedaluwarsa), baju-baju dua kali pakai yang digantung entah kapan akan dicuci, buku-buku bajakan, bungkus sisa cemilan semalam. Tidak utuh sepia, tapi tetap saja pudar. Dan Kiona sungguh tahu, mereka juga tidak punya lidah. Satu-satunya yang berlidah di kamar itu cuma dirinya, tapi ia tidak tahu bagaimana merespon ucapannya sendiri.
Di rumah itu, setelah adzan bertalu-talu, tidak ada yang lebih penting selain menyiapkan sarapan. Ibunya berteriak dari dapur, “Naaa, ayo!”. Kiona beringsut.Dengan malas, ia ambil bra coklat muda yang tergeletak bebas di kasur. Bra itu lusuh, tapi layak. Pengaitnya berkarat, tapi kuat. Masih di hadapan cermin, Kiona melepas piyamanya dan telanjang. Satu-satunya waktu untuk tidak memakai bra adalah malam hari ketika hendak tidur. Sekarang hari berganti dan segalanya dimulai lagi — dengan bra yang mengikat — sepagi itu. Ia tahu ia tidak bisa melenggang ke dapur sebelum memakai bra. Ibunya sering bertanya mengapa tidak nanti saja setelah mandi. Kiona tidak pernah menjawab. Payudaranya mungil dan menurut ibunya tidak masalah jika ia masih ingin begitu saja tanpa bra. Kiona mengamini, meski tidak juga mengerti.
Dengan gontai ia buka pintu kamarnya. Sama belaka. Televisi tabung sudah menyala menampilkan berita terkini tentang jumlah orang mati sehari kemarin. Di hadapannya, seorang lelaki tambun bersarung duduk merentangkan koran dengan kopi hitam yang mengepul di sisinya. Itu ayahnya. Kiona yakin ayahnya mendengar ia keluar kamar, tapi mereka tidak saling menegur. Barangkali si ayah pura-pura tuli, sementara Kiona seperti biasa, mendadak buta. Lagipula, ucapan selamat pagi tidak lazim di rumah itu. Jadi Kiona melengos saja menuju dapur menghampiri ibunya. “Nasi goreng,” kata ibunya. Lalu mereka bekerjasama.
Ketika semua terhidang dan mereka duduk dalam satu meja, Kiona merasa gusar. Satu bakul nasi goreng, seporsi kecil ikan asin, tiga piring, tiga gelas, tiga kepala. Kiona duduk berhadapan dengan ayah ibunya. Lima hari lalu ketika ia memberanikan diri bercerita kepada satu-satunya kawan dekat di sekolahnya, ia mendapat respon yang begitu ringkas, “minimalisir frekuensi bersamanya.” Respon yang begitu ringkas namun jelas. Tidak bertele-tele. Nampaknya memang miskin simpati, tapi Kiona paham betul cuma itu solusi yang bisa ia lakukan. Ia masih dibiayai ayahnya, makan dari hasil keringat ayahnya (meski ibunya turut andil dalam hal ini), dan tidur di rumah milik ayahnya. Minggat baginya berarti bunuh diri. Uang sakunya tidak muncul dari bimsalabim. Ia tidak punya keahlian apa pun selain mendapat nilai nyaris sempurna di tiap ujian Bahasa Indonesia. Hari ini, siapa yang peduli dengan pelajaran itu? Kiona tahu keterbatasannya.
Maka satu-satunya pilihan adalah tetap di rumah dan ‘meminimalisir frekuensi bersamanya’. Tapi pagi itu, ketika ia mengambil sesendok nasi goreng dan tidak sengaja menyenggol tangan ayahnya, kakinya tiba-tiba gemetar. Tidak kencang, tapi terasa. Bulu kuduknya meremang. Tidak seperti melihat hantu, tapi serupa. Ia tidak berani mendongak. Kontak mata barangkali akan membuat sekujur tubuhnya ikut gemetar. Ia mencoba mengambil jalan pintas.
“Kiona mandi dulu. Nanti lagi makannya.”
Tapi ayahnya begitu hangat, “habiskan dulu. Tunggu sampai ibu berangkat kerja.” Kiona menurut. Atau takut. Ia tak mengerti.
Sudah sebulan masa karantina. Ayahnya bekerja di rumah, sementara ibunya tetap ke kantor. Kiona benci ini. Ia menginginkan sebaliknya. Bahkan kalaupun ayahnya mati di tengah kerumunan orang, karena pandemi atau misalnya hal lain yang lebih sepele, ia sungguh tidak mengapa. Ia akan senang kalau nanti Pak RT tidak membolehkan ia dan ibunya hadir di pemakaman ayahnya. Ia akan merayakan jasad ayahnya yang dibungkus plastik rapat-rapat demi tidak menjadi penular bagi orang lain. Ia sering berdoa untuk itu, tapi lagi-lagi cuma ada subuh yang sama.
Ibunya pergi, waktunya Kiona mandi. Ada cermin retak di balik pintu kamar mandi. Dari situ, pagi memantulkan adegan demi adegan seorang gadis remaja membasuh tubuhnya dengan alir air dan kegamangan di kepalanya. Tidak ada karaoke. Kiona tidak lagi menghapal lirik-lirik lagu kesukaannya. Ia menyabuni tubuhnya lebih lama daripada sebelum masa karantina. Ia tidak pergi ke mana-mana, tapi ia harus wangi. Seperti orang-orang lainnya, ia memang harus ada di rumah, tapi ia harus bersih. Dari rambut sampai pangkal paha, sisanya mengikuti. Ada sabun bengkoang di sisi bak mandinya. Kiona tidak tahu siapa yang membelinya. Ibunya tidak seperempuan itu. Satu pagi, ayahnya menghampirinya di kamar, “itu buatmu”, dan Kiona tahu itu perintah.
Selama dua puluh menit Kiona mandi, ia teringat lagi status facebook itu. Seorang teman lama, perempuan, tidak begitu ia kenal.
Kirimi aku pesan “resep pancake” jika kalian sedang mengalaminya. Tanyakan aku “resep pancake buah” untuk membuatku mengerti aku harus menghubungi polisi atau lembaga pendamping korban.
Bagi Kiona, ketidaksengajaannya menemukan status facebook itu adalah jalan keluar, meski ia belum tahu kapan waktu yang tepat. Perempuan itu, teman saat sekolah dasar dulu yang tak pernah lagi ia tahu kabarnya, seperti membawa obat untuk sesak di dada Kiona, mengulurkan tangan untuk melepas belenggu sekian lama, padahal ia sama sekali tidak tahu ceritanya.
Kiona memilih satu daster untuk pagi itu. Merah muda motif bunga. Ayahnya suka, ia tidak. Yang sudah-sudah, ketika ia tidak menuruti kesukaan ayahnya, tangannya jadi punya bekas luka bakar kecil di beberapa bagian akibat sundut rokok. Kalau sedikit saja Kiona melawan, keluar ancaman.
Kiona masih ingin hidup. Ia ingin tetap sekolah dan lulus dan masuk perguruan tinggi favorit dan punya banyak teman dan lulus dan jadi penulis dan punya pacar dan menikah dan punya anak — baru mati.
Di belakangnya, masih berjarak, suara ayahnya serupa petir di pagi yang cerah. “Buatkan ayah kopi susu. Hari ini di kamarmu saja.”
Darah berdesir lebih cepat di sekujur tubuh Kiona. Dari kaki ke perut, dari perut ke dada, dari dada ke tengkuk, dari tengkuk ke kepala. Kiona berbalik tidak menyahut, melewati ayahnya sambil menunduk.
“Lepas bramu sekarang saja. Nanti ayah bantu bersih-bersih di dapur.”
Kiona bergeming. Ia tahu maksud ayahnya. Tanpa berbalik lagi, menghadap cermin tempat ia saban pagi mematut diri, ia lepas pengait berkarat di balik daster itu. Dua tangan. Ia sama sekali tidak ingin dibantu. Masih menunduk. Ia malu melihat pantulan wajahnya sendiri. Sekarang ia ingat, ia punya dua kesempatan tidak memakai bra: malam ketika hendak tidur dan ketika bersama ayahnya.
Bra coklat muda itu lepas. Payudara mungil Kiona semungil kebebasannya saat ini. Kiona menangis, tapi tidak keluar air mata. Sekujur tubuhnya sakit, tapi tidak ada yang berdarah.
Kiona masih bernapas, tapi setengah waras.
Kiona ingin ibunya, tapi tak bisa apa-apa.
Kiona ingin mati, tapi terlalu takut bunuh diri.
Kiona —
Ia berjalan menuju dapur. Siap menyeduh kopi susu dan satu lagi pagi penuh dusta. Kiona menatap jemarinya, menyusuri kuku-kukunya. Ia masih ingin hidup. Sehari lagi, ia masih mau menunda kekalahannya.
Ayahnya datang. Kiona membeku. Masih mengaduk kopi susu, Kiona teringat lagi status facebook itu.
Catatan: cerpen ini dimuat di situs Empuan pada Januari 2021. Sayangnya situs media bagian dari Indonesia Feminis itu tidak lagi bisa diakses.