Review Film: Ayat-Ayat Cinta 2, Dimana Emosinya?

Sabtu akhir tahun kemarin akhirnya saya menyaksikan film ini, setelah sebelumnya tertunda sebab dimana-mana bioskop penuh menjelang tahun baru. seminggu sebelumnya, niatan saya menonton film ini murni ingin menjadi penikmat kelanjutan film pertamanya yang sungguh fenomenal. saya ingat sekali menonton film Ayat-Ayat Cinta dulu waktu masih kelas 1 SMP, belum paham apa-apa. sampai saat ini, mungkin sudah lebih dari sepuluh kali saya mengulang filmnya, dan getaran emosi yang saya dapat selalu sama.

namun ketika saya melihat beberapa ulasan singkat netizen di twitter, saya segera bilang ke teman saya, yuk ah! gue ingin membuktikan review orang-orang yang emosional banget ini. ya, pendapat khalayak atas film ini sungguh menggelitik. rupa-rupa, dari mulai yang negatif sampai yang — meskipun jarang saya temukan — positif. coba kamu cek di tagar #AyatAyatCinta2

anyway let me tell you, ini adalah pertama kalinya saya mencoba mengulas film. ada banyak film menarik dengan beragam rating yang sudah saya tonton, tapi tak pernah mencoba mengulasnya secara tertulis. entah mengapa, untuk film satu ini, rasanya saya ingin sekali mengungkapkan segala hal yang saya tangkap selama saya duduk manis (berusaha) tak jemu menonton film ini.

Hold On, Spoiler Alert!

hehe baiklah, saya akan mencoba menjabarkan ulasan saya dalam beberapa poin yang sebenarnya sederhana saja, sebab saya tidak akan mengulas dari segi agama yang kental dalam film ini atau menjabarkan perbedaannya dengan bukunya, buku karya Habiburrahman El-Shirazy yang terbit pada tahun 2015 silam dan konon menjadi salah satu buku best-seller (sebab saya belum baca bukunya hehe). ulasan ini murni dari pengamatan saya pada detail-detail yang saya tangkap selama 125 menit film berlangsung:

  1. Campur aduk Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia

film kedua ini menceritakan Fahri yang tinggal di Skotlandia, Inggris dan menjadi dosen di Edinburgh University. Betapa mengejutkan ketika ia dan beberapa muridnya bercakap-cakap dengan bahasa indonesia yang fasih bercampur bahasa inggris sepotong-potong di tengah murid-murid bule lainnya. bukan hanya adegan di dalam kelas, tapi juga ketika ia jadi pembicara pada debat ilmiah. ingatkah kamu? moderator debatnya saja seorang inggris tulen, dan terlihat jelas sekali banyak di antara para peserta debat yang rasanya sih kalau dilihat-lihat mereka tidak ada darah Indo. lagipula, kalau tujuannya untuk mempermudah daya tangkap penonton, bukankah pada setiap percakapan bahasa inggrisnya sudah dilengkapi subtitle?

2. Sikap Fahri sebagai suami Aisha yang belum diketahui nasibnya atas tragedi Palestina

begini, wajarnya seorang suami yang ditinggal pergi istrinya ke tempat yang jauh dan tak kunjung ada kabar pastilah sedih. iya bukan? bahkan bukan lagi disebut sedih, melainkan berduka. dalam film ini, penonton memang diberi gambaran mengenai tragedi Palestina yang mengancam nyawa Aisha dan adegan di awal film dimana Fahri sekilas terbayang sosok Aisha ketika melihat perempuan di pinggir jalan ketika ia sedang di mobil bersama Hulusi. namun setelah itu? tidak ada lagi emosi sedemikian rupa yang tergambar dari Fahri. tidak ada usaha Fahri dalam mencari jejak Aisha. ia seakan-akan menunggu takdir memberitahu padanya. iya, memang, beberapa percakapan menunjukkan Fahri masih mengingat Aisha, seperti wasiat-wasiat Aisha dan perkataan Fahri pada Keira bahwa ia begitu rindu istrinya, tapi menurut saya itu tidak cukup. mungkin sang sutradara ingin memberitahu penonton bahwa begitu tegarnya sosok Fahri sampai ia mampu menyembunyikan duka yang paling duka. tapi oh, bukankah Fahri sangat mencintai Aisha?

3. Para wanita yang menggoda Fahri

ketika teringat akan para wanita yang seakan berusaha mendapatkan hati Fahri, saya jadi bertanya-tanya: 1) sudah berapa lamakah Aisha tidak terdengar kabarnya?, 2) sejak kapan Fahri sudah punya niat untuk punya istri lagi?, dan 3) sejak kapan Hulya jatuh cinta pada Fahri dan sebaliknya?

coba ingat adegan Fahri dan Hulya pertama kali berpapasan dan bercakap-cakap lalu Fahri dengan sikap canggung menerima ajakan selfie Hulya. saya sulit menerka, sikap canggung ini muncul karena Fahri tidak biasa selfie dengan orang lain, kaget dengan respon Hulya yang tiba-tiba itu, atau ia menangkap sinyal lain dari Hulya? mengapa hal pertama yang mereka bicarakan bukan kabar Aisha, seorang istri dari Fahri dan seorang sepupu dari Hulya?

jujur saja, saya merasa sosok Aisha sudah terlupakan sejak awal.

sekarang coba ingat adegan seorang wanita —seorang asisten atau entah siapa saya lupa — yang berusaha menarik perhatian Fahri di depan Hulya. wanita ini setengah terkejut, terbata-bata dan cemberut seakan-akan menanyakan siapa Hulya, yang dijawab cepat oleh Fahri, “ini Hulya, sepupu Aisha” dan dijawab dengan helaan napas lega oleh si wanita, “oh, untung sepupunya…..” tak adakah hal janggal di sini? bagi saya ada: 1) wanita ini tahu mengenai ketidakjelasan kabar Aisha dan ia mencoba mencari kesempatan dalam keadaan ini, 2) wanita ini hanya tahu fakta bahwa Aisha adalah istri Fahri, namun ia tetap ingin menggoda Fahri, 3) jawaban wanita ini menunjukkan bahwa menurutnya tak mungkin sepupu dari istri Fahri bisa menikah dengan Fahri.

ugh…….. lihatlah lagi adegan selanjutnya saat Fahri menerima masakan dari wanita ini, bagaimana mimik wajah Fahri? dan ketika Hulya juga Hulusi meledek Fahri atas godaan wanita itu dan wanita-wanita sebelumnya, tak ingatkah mereka pada Aisha? baiklah, Fahri menjawab dengan bijak, “kau berlebihan.” namun, kalau memang ia merasa tidak nyaman akan hal tersebut, mengapa tidak mencoba meluruskan kedua orang itu dengan mengingatkan mereka pada Aisha?

oh, Aisha….. masih adakah kau sebenarnya dalam benak Fahri?

4. Tidak adakah emosi negatif yang tergambar pada Hulya sebagai sepupu Aisha?

sepanjang film, tidak ada sama sekali percakapan Hulya dan Fahri mengenai Aisha. tidak terlontar satupun pertanyaan dari sepupu Aisha ini, hinga suatu hari ayah Hulya — paman Aisha — datang dan sekonyong-konyong mengatakan hendak menjodohkan anaknya dengan Fahri. saya ingat betul jawaban pertama yang terlontar dari mulut Fahri, “saya sih merasa terhormat, tapi bagaimana dengan Hulya?” barulah kemudian ia bertanya pada sang paman, “apakah paman dan keluarga besar sudah menganggap Aisha meninggal?” percakapan ini lagi-lagi memunculkan pertanyaan yang sama, sudah sejak kapan Fahri jatuh cinta pada Hulya dan sebaliknya? tidak ada dinamika yang jelas.

5. Sejak sebelum menikah dengan Fahri pun, Aisha sudah bercadar. Tidak adakah yang mengenalinya?

ilustrasi sederhana: suatu hari saya sedang berjalan di pinggir jalan berdebu dengan menggunakan masker, lalu teman saya yang juga sedang berjalan dari arah berlawanan menyapa saya dengan begitu bersemangat memanggil nama saya. yakinkah ia bahwa orang yang ia sapa adalah saya? padahal saya sedang menggunakan masker dan yang kelihatan hanya dua mata saya. begitu hebatnya memori manusia, bisa menangkap tak hanya wajah, tapi juga perkiraan postur tubuh, gestur tubuh, dan suara. bahkan teman saya tersebut jarang sekali mengobrol dan menghabiskan waktu bersama saya.

lantas bagaimana bisa Fahri, yang sudah lama menikahi Aisha, yang sudah kenal dengan detail-detail tubuh Aisha: matanya, tangannya, postur dan gestur tubuhnya, bahkan suaranya, bisa sebegitunya tidak mengenali Sabina sebagai Aisha? sudah berapa lama Sabina menjadi asisten rumah tangga di rumah Fahri? tidak ada yang tahu. yang jelas, tidak ada satupun orang rumah yang mengenali wanita itu adalah Aisha, pun Hulya dan adik Fahri.

ingatkah adegan Hulya yang menghimbau Sabina untuk melakukan implantasi wajah? seberapa dekat jarak mereka ketika bercakap-cakap? bayangkan, tidakkah Hulya curiga pada Sabina? mengenai sebab luka di wajanya dan asal usul dirinya?

oh Tuhan, dimana emosi mereka?

6. Nenek Catarina tiba-tiba bisa mengenali Aisha

singkat saja, sejak kapan Nenek Katarina, tetangga Fahri yang baru kenal dengannya belakangan, bisa mengetahui sosok Aisha sampai-sampai ia adalah orang yang pertama kali menyadari bahwa Sabina adalah Aisha?

7. Emosi Hulusi ketika membicarakan nasib Aisha pada Misbah

kembali lagi perihal emosi. sejujurnya saya agak lupa adegan ini. seingat saya Hulusi, Misbah, dan seorang perempuan sedang membicarakan perihal calon pendamping Fahri sebagai pengganti Aisha. namun, saya ingat betul mimik wajah Hulusi dalam percakapan ini. kira-kira begini percakapan mereka,

“……..ya, sampai Aisha sudah diketahui kabarnya,” Misbah

“kan sudah Almarhum,” Hulusi, yang ketika mengatakan ini, wajahnya tersenyum seakan meledek perkataan Misbah, yang dibalas dengan Misbah dengan canda, “belum tentu.”

beginikah emosi yang tergambar ketika membicarakan seseorang yang sudah meninggal? seseorang — istri dari orang yang dihormati Hulusi dan sahabat Misbah.

8. Konflik kehidupan Keira yang rumit sekaligus terbata-bata

Keira, seorang perempuan kelahiran Skotlandia yang bercita-cita menjadi pemain biola namun ditentang ibunya karena mereka hidup susah semenjak ayah mereka meninggal pada tragedi pemboman di London. satu jam pertama, hanya tergambar konflik antara Keira dan adiknya yang membenci Fahri karena mereka menganggap Fahri, sebagai orang muslim, sudah menjadi penyebab meninggalnya sang ayah. di lain sisi, Fahri selalu membalas perbuatan Keira dengan kebaikan, salah satunya yaitu ia yang begitu dermawannya ‘menghadiahi’ Keira dengan sekolah biola sampai terkenal dan masuk televisi. hingga sekitar dua puluh menit terakhir, ketika Fahri sudah menikah dengan Hulya, tanpa dasar yang jelas, Keira merajuk minta dinikahi Fahri, laki-laki penyelamat hidupnya. bahkan ia sampai berlutut di hadapan Hulya.

ugh, dimana logikanya? inikah gambaran harfiah ‘benci jadi cinta’?

9. Emosi sang adik ketika tahu Fahri akan menikah

sekonyong-konyong sang adik setuju sang kakak akan menikah lagi. lagi-lagi tanpa ada pertanyaan yang mengarah pada kabar kakak iparnya.

10. Ini yang paling mengejutkan, transplantasi wajah?

ini adalah bagian akhir filmnya, dan hal ini yang paling membuat banyak orang terkejut. mengapa sebegitu mudahnya bagi Fahri mengizinkan Hulya ‘memberikan’ wajahnya pada Aisha dan mengizinkan Aisha ‘menerima’ wajah Hulya? kalau benar Fahri cinta Aisha, bukankah ia mustinya menerima keadaan Aisha apa adanya?

lagipula, begitu mudahkah proses implantasi wajah? bagaimana jika ditilik dari sisi agama? tidakkah hati Aisha kembali sakit ketika ia tahu hari-harinya kedepan akan dihabiskan bersama Fahri yang akan selalu memandang, mencintai, dan mencumbu wajah Hulya, bukan wajahnya sendiri?

ah, saya tidak tahu……. saya sungguh jauh dari memahami.

terlepas dari sepuluh poin di atas yang rasanya lebih tepat disebut ‘poin-poin kejanggalan’, ada tiga hal yang membuat saya punya alasan untuk setidaknya menyukai film ini, sebab sesungguhnya saya ingin sekali jatuh cinta pada film ini seperti jatuh cintanya saya yang tak henti-henti pada Fahri, Aisha, dan Maria sejak sepuluh tahun lalu :

  1. Adegan Jason (adik Keira) memeluk Fahri ketika ia tahu bahwa Fahri bermaksud baik pada kakak dan keluarganya dan tidak pernah sekalipun punya niat jahat.
  2. Adegan Nenek Catarina yang bersumpah di hadapan peserta debat ilmiah — dan anak tirinya yang kurang ajar — bahwa Fahri adalah seorang muslim yang baik yang mencintai cinta dan membenci benci itu sendiri.
  3. Soundtrack film yang dibawakan oleh empat penyanyi kenamaan Indonesia sekaligus: Rossa, Krisdayanti, Isyana Sarasvati, dan Raisa. jujur saja, ketika saya tahu soundtrack Ayat-Ayat Cinta 2 ini kembali digubah oleh Melly Goeslow dan Anto Hoed, ditambah Yovie Widianto, saya selalu akan bilang, “mungkin emosi para pemain akan lebih tergambar dalam kepala saya ketika saya mendengarkan lagu-lagunya ketimbang menonton langsung filmya.”

--

--

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). Hari ini di Bekasi, besok juga di Bekasi.

Get the Medium app

A button that says 'Download on the App Store', and if clicked it will lead you to the iOS App store
A button that says 'Get it on, Google Play', and if clicked it will lead you to the Google Play store
Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). Hari ini di Bekasi, besok juga di Bekasi.