Roman Picisan

Aya Canina
3 min readApr 28, 2022

--

Surat lain yang luput diantar tukang pos Neptunus

source: Pinterest

Aku menulis ini dengan rindu yang alay, cengeng, dan menggebu-gebu. Ah, betapa persoalan penulis sesepele kalimat pertama apa yang mesti ditulis. Buruk, tidak, kalimat pertamaku itu? Mari kuulangi: aku menulis ini dengan rindu yang alay, cengeng, dan menggebu-gebu. Entah sejak kapan. Kemarin, kemarin lusa, seminggu yang lalu? Aku tidak tahu. Yang pasti setelah mandi pagi kemarin, setelah kamu mengabari sedang di kafe kawanmu, tepat setelah telepon itu kita tutup, aku lunglai berjalan ke belakang rumah, kusampirkan handukku. Di situ, diam-diam aku menangis seperti anak perempuan yang ditinggal mamanya pergi arisan; seperti aku kecil dulu. Mungkin tahu mama (dan kamu) akan kembali, tapi persoalannya ada pada seberapa lama aku mesti menunggu. Astaga, betapa remajanya kangen ini!

Kamu tahu, tidak? Buku Seni Mencintai itu kuabaikan tiga hari ini. Aku berhenti setelah susah payah menuntaskan bagian penjelasan “Cinta Tuhan”. Bahasanya rumit. Aku berkali-kali mengantuk, buka-tutup-buka-tutup. Sama sekali tidak tahan. Apa sih ini? — huft. Ketahuilah, bahasa rumit penyair dan filsuf jauh sekali berbeda. Untuk menangkap pemahaman bahwa ‘cinta yang utuh kepada Tuhan berarti melalui tindakan, bukan hanya persoalan pengetahuan tentang Tuhan itu sendiri’ saja mesi tahu dulu perbedaan filosofi agama Timur dan Barat. Memang, mungkin itu menjadi perlu dalam ranah yang serius. Bagaimanapun juga, surat ini akan kembali kepada hal-hal tentangmu. Dan hal-hal tentangmu mengingatkanku pada sebuah kutipan:

“Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.” -Pramoedya Ananta Toer

Sayangku, memang, tanpa perlu mencatut potongan puisi Eyang Sapardi yang kita semua sayangi itu, kamu selalu ingin mencintai dengan sederhana. Kamu mejikuhibiniu yang melengkung sore-sore lepas hujan. Tidak ada yang tidak menyukaimu. Untuk takjub, mereka tidak perlu mencari tahu dulu proses pembiasan warna karena elangi selalu berarti perasaan bahagia. Namun, taraf cintaku bukan lagi pada mengagumimu, melainkan sampai pada apa yang membentuk tubuhmu. Begitu pun kamukita berdua. Selalu berusaha meretas isi kepala satu sama lain, membongkat-pasang puzzle, memecahkan peta buta. sTetap saja, pada akhirnya kita berdua adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah habis. Tidak akan pernah sampai pemahaman yang paripurna atasmu, begitu pun sebaliknya. Dan di situlah keseruannya.

Sudah pernah kukatakan, bukan, bahwa kelemahan penyair bukan ketika ia patah hati, melainkan jauh ketika pada mulanya ia jatuh cinta. Ketika patah, luka diurai jadi metafora, sakit hati mekar jadi hiperbola, marah menjelma serigala. Buas, liar, penuh nafsu. Tapi ketika jatuh cinta — ah, penyair — serigala berubah jadi domba, harimau berubah jadi kucing persia. Tidak ada padanan kata yang bisa menggantikan besaran energi dari “aku jatuh cinta padamu.” Kalaupun ada, itu muncul dari ego; cara bertahan hidup khas penyair. Tentu saja kita semua banal, konyol, seringkali tolol jika dihadapkan pada kasmaran — termasuk penyair.

Sayangku, entah bagaimana aku ingin mengejamu terus-menerus, seperti anak kecil yang belajar membaca; takjub pada lafaz huruf A dan apa yang membedakannya dari bentuk huruf B. Aku ingin mengunjungi museum di tubuhmu yang dipenuhi banyak peninggalan berharga: pengalaman dan memori antik yang membentukmu hari ini. Aku iri sekali pada oksigen yang tinggal di paru-parumu, pada bibir cangkir yang saban hari mengecap lidahmu, pada aroma kopi yang membaui hidungmu, pada handuk yang mengusap tengkuk dan pipimu, pada senar gitar yang memetik jari-jarimu, pada rumput yang menginjak telapak kakimu, pada rokok yang menghisap habis bibirmu, pada bungkus-bungkus Magnum dan Sampoerna yang tak sedap dipadang tapi abadi di kamera ponselmu, pada bantal yang mengelus rambutmu, pada kedai kopi yang menanti kedatanganmu, pada isi kamar yang kapan seja bebas memandangimu.

Maaf jika aku seringkali berubah jadi kelinci yang suka lompat ke sana ke mari, sulit kamu tangkap. Sebetulnya aku domba jinak yang gampang sekali digembalakan, tapi kadang-kadang di tubuhku ada harimau yang minta diberi makan. Maaf untuk rollercoaster mood-ku dan beberapa cemburu yang tidak perlu. Meski segalanya terasa picisan bila semakin dijelaskan, harus kuakui tanpa gengsi: aku takut kehilanganmu.

Aku ingin mencintaimu seribu tahun lagi, sejauh Bumi-Neptunus, melampaui batas realita. Jangan tanya kenapa, sayang. Aku tidak pernah punya jawaban mutlak. Kamu mestilah tahusekali lagisurat ini dibuat dengan perasaan rindu yang alay, cengeng, dan menggebu-gebu. Sekarang aku ingin segera menyelesaikan paragraf-paragraf yang bertele-tele ini dan melompat ke arahmu. Memelukmu (aku memaksa untuk ini), berbisik di telingamu, sebisik-bisiknya,

sayang, aku mencintaimu

Dan tidak lagi mau menimbang:

hendak kupakaikan tanda tanya

atau tanda seru di ujungnya.

Kita berdua selalu tahu jawabannya.

(Bekasi, 26 Agustus 2020; 12.20. Disunting dan selesai pukul 19.52)

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). Hari ini di Bekasi, besok juga di Bekasi.