Sebulan Sebelum Menikah (Private Journal Revealed)

Aya Canina
3 min readSep 8, 2024
Photo by Priscilla Du Preez 🇨🇦 on Unsplash

Terakhir kali menulis jurnal adalah April. Itu menyesakkan. Bukan hanya bagiku, melainkan bagi kegiatan journaling itu sendiri. Mereka, lembar-lembar mati itu menunggu dibangunkan, diisi jiwanya biarpun isi yang mampu penulisnya beri lagi-lagi seputar hal-hal luluh lantak. Dan hari ini si penulis bangun; membangunkan dirinya sendiri dari tidur panjang 1001 tahun (seribu tahun hanya milik Chairil Anwar). Alhamdulillahil ladzi ahyana ba’da ma amatana wailaihin nusyur. Berharap seperti Ashabul Kahfi yang tiba-tiba sudah ada di dunia baru, di negerinya yang dipimpin raja baru, dengan mata uang baru, dengan aroma udara baru.

Tapi tidak. Udara Bekasi masih sama. Dengan suhu siang hari mencapai 32 derajat, malamnya gak turun jauh dari itu. Presidennya masih sama (kelakuannya juga), rupiah juga sama saja selama yang kupikirkan masih seputar pemasukan dan pengeluaran rumah tangga (kelak).

Rumah tangga. Itu kurang dari sebulan sejak hari ini. Rumah kami — aku dan Mas, dibeli dengan KPR. Mungkin bukan keputusan terbaik, tapi buat kaum menengah, apa lagi yang bisa dipaksakan? Tidak ada 100 juta untuk membeli tanah. Aku ingin langsung tinggal di tempat terpisah dari rumah orang tua segera setelah resmi menikah. Selalu mencoba ingat rumus ini: tidak ada pilihan yang 100% sempurna. Memilih opsi yang kekurangannya masih bisa kita terima mungkin adalah cara terbijak.

Terima kasih, diriku, sudah berani membuka aplikasi Notion lagi, memulai menulis jurnal, aktivitas yang kerap dianjurkan psikologku dulu untuk merekam emosi setiap hari, untuk menyadari pengalaman secara utuh sebab manusia rentan hidup dengan mode autopilot. Aktivitas ini, yang sayangnya kusingkirkan tiga bulan terakhir ini, dipercaya praktisi kesehatan mental sebagai satu solusi mencapai mindfullness. Ya, aku juga percaya kok. Tapi meyakini dan melakukan dua hal yang berbeda, kan? Haha

Pagi yang sendiri. Me-time setelah hari-hari padat sekaligus membosankan mengurusi ina inu pernikahan dan renovasi rumah. Bersyukur punya kekuatan melangkahkan kaki dari kamar, mencari suasana untuk sekadar bisa mulai menulis lagi.

Kopi N*k*. Di sini aku sekarang. Kafe yang menjual tempat, tapi tidak kopinya. Kopinya dijual, mahal, tapi sampah. Aku sampai sini jam 09.30 hanya karena ada promo kopi 15rb-an jam 08.00–10.00 setiap hari. Oke boleh. Membayar pemandangan dan suasana remaja.

Membawa buku Osamu Dazai dan sekumpulan puisinya Muhaimin Nurrizqy. Variasi bacaan. Variasi kemalangan. Variasi masturbasi akal. Variasi terbengkalai lainnya.

Di belakangku sekelompok orang paruh baya. Lima orang. Laki-laki semua. Mereka membahas hal yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Di depanku seorang ibu dan anak perempuannya, masih pakai seragam sekolah. Ada beberapa yang setipe itu. Pasutri dan anaknya (dengan pengasuh anak itu) dan bapak muda yang dipanggil daddy oleh dua anak perempuannya. Pekan ini awal masuk sekolah, tahun ajaran baru. Keluarga muda dengan mobil. Sepagi ini. Hari Jum’at. Berapa isi rekening mereka? (adalah aku yang gemar membandingkan; “orang lain baik (segala hal yang berarti baik), aku buruk (sekalipun, misalnya, di rekeningku ada 100 juta”).

Angin berhembus pelan, sehelai daun kuning jatuh di atas roti bakar tiramisu oreoku. Pagi mulai terik. Pipi kananku mulai terasa panas. Aku duduk di tempat yang terekspos cahaya. Kursi ini tidak baik untuk bokongku. Meja bundar ini punya pinggiran yang lebih tinggi dari tengahnya. Tidak enak mengetik lama-lama di sini. Meja-meja outdoor kafe ini tidak didesain untuk bekerja.

8 September 2024. Hampir sebulan pernikahanku. Ketika aku membukanya, jurnal ini tidak pernah selesai.

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.