The Owl — The Darkness & The Wisdom

Aya Canina
3 min readFeb 23, 2023

theme 3: me as an animal

Photo by Rúben Marques on Unsplash

Ketika mengetahui King Duncan telah mati, Lady Macbeth mendengar jeritan seekor burung hantu. Dalam adegan itu, ia berseru:

That which hath made them drunk hath made me bold;
(Apa yang telah membuat mereka mabuk, telah membuatku berani;)
What hath quenched them hath given me fire. Hark, peace.
(Apa yang telah memadamkan mereka, telah memberiku api.)
It was the owl that shrieked, the fatal bellman,
(Itulah burung hantu yang menjerit, pelayan yang fatal,)
Which gives the stern’st good-night. He is about it.
(Yang memberikan ucapan
selamat malam-kematian. Dia adalah tentang hal itu.)

(Macbeth Act 2, Shakespeare)

Benar bahwa burung hantu lekat dengan kegelapan. Hidup nokturnal dan memburu tikus. Dalam drama Macbeth, entah siapa tikusnya — apakah Macbeth, istrinya (Lady Macbeth), atau obsesi mereka berdua atas kekuasaan, burung hantu memainkan peranan besar sebagai The Fatal Bellman, petugas kota yang berkeliling membunyikan bel dan membuat pengumuman sesaat setelah dilakukannya sebuah eksekusi.

Eksekusi dengan jeritan burung hantu paling fatal dalam hidupku barangkali adalah adegan pada suatu malam Agustus 2020 silam ketika aku dihadapkan pada lima algojo jantan yang memberiku surat pernyataan: “Keluarlah dari sini dan berdamailah dengan lukamu sendiri.” Meski faktanya memang aku mengajukan diri untuk hengkang, tapi kalian tahu, persoalannya tidak sesederhana itu. Jadi aku keluar dengan sembunyi-sembunyi membawa berkilo-kilo rahasia yang mereka tumpuk di punggungku.

Selama setahun setelah itu, aku bersekutu dengan kawan & musuh Tuhan sekaligus; pagi dengan malaikat, malam dengan setan. Anehnya mereka sama-sama memintaku jadi burung hantu, meski kelompok setan bilang itu demi dendam kesumatku, sementara kelompok malaikat bilang itu demi kebijaksanaanku.

Sejauh yang aku tahu, dendam dan kebijaksanaan membutuhkan jerih payah pengetahuan. Untuk bisa membayar dendam, aku mesti tahu kebiasaan musuhku, minimal jam tidurnya. Seperti Lady Macbeth, yang dengan pongah menjebak pelayan King Duncan hingga berhasil menghasut suaminya membunuh sang raja saat ia sedang lelap-lelapnya. Kebijaksanaan, jelas sekali, mustahil tanpa pengetahuan. Tidak seperti Macbeth, yang menolak menggunakan akal budi di antara godaan kekuasaan.

Jadilah aku si burung hantu, dengan 60% dendam 40% kebijaksanaan. Dinobatkan secara resmi oleh malaikat (atau setan) tujuh belas bulan setelah eksekusi itu; Februari 2022, ketika aku menyerang balik para algojo tengik itu, membawa lagi peluru-peluru masa silam yang mencelakai kewarasanku. Persis seperti yang terjadi dalam babak 2, adegan 4 drama Macbeth, ketika alam menunjukkan hierarki terbalik; “seekor elang, terlempar dari singgasananya, diserang oleh burung hantu dan terbunuh”. Bagaimana mungkin seekor elang dibunuh seekor burung hantu? Tidak mungkin, kecuali si burung hantu sedang ingin.

Kata Agnicia Rana tentang aku-yang-burung hantu

Trivia: aku membuat kuisioner untuk 28 orang pilihan dalam rangka kontemplasi 28 tahunku Januari kemarin (mungkin nanti aku akan bercerita soal ini). Pertanyaanku satu: “jika boleh mengumpamakanku sebagai hewan, hewan apakah aku?” dan di atas itulah jawaban Agnicia Rana: burung hantu. Aku memilih percaya.

Kadang-kadang kita percaya setelah dibuat percaya. Kadang-kadang kita berupaya keras percaya meski sendirian.

Burung hantu tidak menginginkan kematian. Kematianlah yang mengundang jeritannya. Dan demi pengetahuan, matanya awas mengamati. Kegelapan atau kebijaksanaan yang akan ia ambil? Tergantung situasinya.

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.