Yang Dijarah dari Kesadaranku

Aya Canina
4 min readJul 29, 2021

Kamu ingat apa yang kutanyakan waktu kamu duduk sendiri bersusah payah menjadi orang paling kesepian di meja nomor tujuh itu? Aku menjual ikan-ikan kecil yang bisa terbang di kepalamu tiap kali kamu sedang pusing. Kamu bilang kamu tidak butuh. “Aku sudah punya kucing,” katamu. “Kucing bisa makan ikan, tapi tidak sebaliknya.”

Seperti kamu bisa menipuku, tapi tidak sebaliknya? — kamu menatap mataku dan setengah berbisik, “aku mencintaimu.”

Apa buktinya?

“Aku membayangkan wajahmu ketika masturbasi.”

Gila kamu!

“Dan kamu juga mencintaiku.”

Lebih gila! Apa buktinya?

“Kamu mendengarkan lagu-lagu kesukaanku.”

Lalu kamu berpaling lagi. Ini membuatku bertanya, kamu mencintaiku atau itu hanya bentuk lain kekacauan di kepalamu?

Tiap kali kita di kafe ini, kamu suka sekali memandangi bunga-bunga telanjang diguyur hujan dari jendela. Aku tidak memelihara bunga. Kamu juga suka mengikuti langkah pejalan kaki yang lewat di depanmu, sampai mereka hilang di ujung jalan. Aku tidak suka berjalan kaki. Scoopy-ku tidak sampai menimbulkan polusi suara dan body-nya masih bagus. Selain itu, kamu tidak suka membaca buku. Kamu bilang buku itu versi bertele-tele dari mulut orang-orang.

“Kalau aku bisa mendengarkan dengan utuh kultum lima anak muda calon sarjana di kafe ini, itu sama saja dengan kamu membaca Sapiens berhari-hari.”

Aku hanya butuh satu, kamu lima.

“Setidaknya mereka yang lebih bertanggung jawab.”

Maksudnya?

“Kalau aku salah tangkap, kesalahan ada pada penjelasan mereka. Kalau aku baca buku, kesalahannya ada pada cara membacaku.”

Bah! Konyol. Yang terakhir itu semakin membuatku tidak percaya omong kosong aku mencintaimu yang keluar dari mulut bau tembakaumu itu.

Sampoerna. Dua puluh lima ribu. Terlalu elit bagi pengangguran sepertimu. Masuk akal kalau itu hasil menjarah. Kamu pengangguran banyak akal.

Di kafe ini juga kamu tidak pernah kelihatan memesan apa pun selain americano. Waktu pertama kali aku duduk di depanmu (karena hanya itu satu-satunya bangku yang tersisa), kamu tanpa malu mencomot french fries-ku dan itu berlanjut di kunjunganku yang kedua, ketiga, kelima, keenam puluh empat, sampai hari ini keseratus tiga puluh. Kamu makin tidak punya malu.

“Toh kamu tidak terganggu dengan aku yang tidak punya kemaluan,” katamu asal.

Sok tahu.

“Buktinya kamu datang terus dan duduk di hadapanku.”

Hey! Itu karena kafe ini selalu penuh di Sabtu sore dan cuma kamu pengunjung yang kesepian. Lihat, semua berpasangan atau paling tidak membawa teman.

“Lantas, kamu apa? Kesepian kedua?”

Aku memang tidak suka berteman, apalagi pacaran.

“Dasar binatang lajang!”

Gak sopan!

“Aku cuma mengubah sedikit kata-kata yang suka kamu ucap berulang-ulang ketika kamu sedang berpikir.”

Itu punya Chairil Anwar. Dan kamu mengubahnya!

“Kenapa setiap penyair sepertimu harus menyerupai perokok akut seperti dia? Kamu perempuan. Apakah dunia ini kekurangan penyair perempuan yang bisa kamu idolakan?”

Pertanyaanmu nonsense.

“Orang-orang nonsense seperti pengikut sekte bumi datar dibutuhkan di dunia ini supaya kamu sadar kamu belum cukup mumpuni disebut sinting.”

Maksudmu aku mengira diriku sinting?

“Bukankah para penyair selalu begitu?” — kamu nyengir sambil ngisap dalam-dalam Sampoerna hasil jarahanmu. Sekarang aku betul-betul yakin itu hasil jarah.

Dipikir-pikir ada benarnya juga. Aku kerap mengira diriku terlalu rumit untuk memahami sekitarku. Aku mengira-ngira sampai sempoyongan apa yang ada di benak mamaku ketika ia memutuskan menikah lagi ketika umurku sudah hampir seperempat abad ini. Apakah selama ini kehadiranku tidak cukup sehingga ia butuh seorang laki-laki yang umurnya tujuh tahun lebih muda darinya? Mamaku bilang, bagaimanapun aku butuh seorang ayah. Nonsense. Aku sudah cukup terbiasa dengan sebutan anak yatim. Aku bukan lagi anak ingusan yang bertanya kenapa ayahku tidak pernah pulang ke rumah.

Persetan dengan itu. Satu dari sekian hal yang membuatku cukup mumpuni disebut sinting, kukira.

“Jadi kapan kita kencan?”

Apakah kita masih butuh kencan setelah banyaknya pertemuan yang tidak diinginkan ini?

Kamu tertawa.

Malas menanggapi, aku bertanya hal lain, belakangan ini mendengarkan apa?

“Sama sepertimu”, jawabmu.

Novo Amor? Itu kesukaanku. Kamu tidak pernah menyebut-nyebut dia sebelumnya.

“Aku pikir sekarang kita makin serupa.”

Kamu tertawa lagi.

Malas mengimbangi, aku bertanya hal lain lagi, kali ini asal saja, kucingmu di rumah? Berapa umurnya?

“Dia mati seminggu kemarin. Ditabrak mobil pas kawin sama kucing tetangga.”

Hah?

“Benar katamu. Besok aku beli ikan saja. Cupang. Kawinnya bukan di jalanan. Tidak akan mati dilindas.”

Kamu tertawa lagi. Kali ini getir. Itu pertama kalinya aku lihat mendung di matamu.

Kamu berdiri. Bersiap pergi. Karena tidak membawa tas atau sesuatu selain badanmu sendiri, tidak ada yang perlu kamu kemasi. Enteng, santai, benar-benar tampang pengangguran. Beda denganku yang merasa harus membawa dua-tiga buku dan kadang-kadang laptop tiap kali ke sini.

Entah setan mana yang lewat di kupingku, aku menyambar, Sabtu depan ke sini lagi, kan?

Sial! Dia tertawa lagi!

“Benar, kan. Kamu menyukaiku.” Ia mengerlingkan sebelah matanya.

Sial betul. Pipiku panas dan sepertinya memerah. Setidaknya dia menurunkan level kepedeannya dari ‘mencintaiku’ menjadi ‘menyukaiku’.

Kamu mengisap Sampoerna terakhirmu, memadamkannya sampai tuntas di asbak, tersenyum sebentar kepadaku, lalu melenggang begitu saja. Berjalan ke luar memunggungiku. Tanpa menoleh.

Tanpa menoleh.

Bekasi, 2021

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.