Yth. Waktu

Aya Canina
5 min readJun 19, 2023

Theme 6: How’s your feeling this week

Photo by Morgan Housel on Unsplash

Kebuntuan: jalan tak ada ujung. Apakah musafir pernah mengira akan bertemu kebuntuan? Katakanlah aku yang sedang berhadapan dengan lembar kosong ini. Jalan panjang membentang tanpa tahu paragraf jenis apa yang akan menjadi takdirnya. Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan, tapi tidak setiap orang yang melakukan perjalanan selalu berarti musafir, apalagi jika ia bermaksud membelot dari jalan keimanan. Inilah si aku — katakanlah penulis — yang imannya telah jadi setipis tisu dan serapuh waktu.

Waktu, si bajingan yang tidak pernah bisa kukalahkan dalam histori traumaku. Waktu menyembuhkan, itu mantranya. Mungkin aku yang tidak lihai jadi penyihir. Penyihir yang hebat seharusnya bertindak seperti musafir. Selalu melakukan perjalanan dalam rangka beribadah. Tujuan keimanannya terserah sajalah, yang pasti meski jalan buntu adalah juga jalan, musafir tidak pernah berhenti berjalan. Dan penyihir yang musafir bahkan tidak bisa dihentikan oleh tirani, oleh perburuan penyihir pada abad ke-18.

Hercule Poirot, dalam Pesta Halloween karya Agatha Christie, pernah berkata, “masa lalu adalah bapak masa sekarang.” Untuk memecahkan pembunuhan yang baru saja terjadi semalam, ia merasa mesti menyelidiki pembunuhan yang mungkin terjadi di masa lalu, bahkan jika pembunuhan itu tidak melibatkan belati, kaliber, atau suntikan beracun. Mengatakan seseorang pantas mati adalah juga pembunuhan. Mengisolasinya, memerintahnya untuk patuh seumur hidup pada nilai-nilai yang melahirkan represi paling psikotik termasuk juga pembunuhan. Manusia-manusia pembunuh dan manusia-manusia yang dibunuh seringkali hidup lebih dekat daripada hidung dan oksigen. Mereka berdampingan, terlihat normal, dan tidak tolol sama sekali. Mereka saling mencintai. Pembunuh paling handal seringkali adalah pencinta paling ulung atas dirimu.

Contoh pencinta paling ulung yang paling sering kita sebut adalah: ibu. Tom Bilyeu, dalam salah satu epidose podcast-nya, Impact Theory, bercakap-cakap dengan Dr. Gabor Mate mengenai buku terbarunya, The Myth of Normal buku tentang trauma, penyakit, dan pulih dalam budaya beracun (toxic culture). Baru aku tahu Dr. Gabor Mate adalah trauma expert yang tertarik dengan childhood trauma dan efek jangka panjangnya bagi life-span seseorang. Ketika Tom berkisah tentang ibunya, tentang bagaimana ia didisiplinkan oleh ibunya oleh, salah satunya, pukulan, yang tentu bisa kita sebut sebagai physical abuse, ia secara spontan berkata, “I remember even as a kid, sometimes I get very angry at my mom but I never doubt she loves me.” Dr. Gabor Mate kemudian menjawab, “I don’t doubt that your mother loved you, but the love that the child experiences is not what the parent feels.”

Aku tidak ragu ibumu mencintaimu, tapi cinta yang dialami sang anak bukan tentang apa yang dirasakan orang tuanya.”
-Gabor Mate

Apa artinya ini? Banyak terjadi dalam bentuk senyata-nyatanya, sedekat-dekatnya di hidup kita — di hidupku. The Good-Bad Parents (menyadur judul serial drakor “The Good-Bad Mother) mungkin jadi bagian dalam masa perkembanganku. Detik ini aku berpikir alangkah enak jika punya penulis biografi sendiri. Aku mati, ceritaku abadi. Lebih baik seorang lain mengamati, merumuskan, mencocokkannya dengan teori perihal masa kecil, masa remaja, dan masa bangkotanku di 10.373 hari aku telah hidup di dunia buhul ini.

Gambaran rumah tangga ideal kapitalisme yang kutulis dalam relasi ayah-ibuku bisa kamu baca di sini. Itu adalah hasil suntingan editor Konde.co atas kiriman artikel personalku. Bisa dibilang curhat sambil separuh analisis diri. Aku bilang di situ ibuku adalah ibu rumah tangga ‘ideal’ bagi kapitalisme. Berhenti bekerja ketika aku berusia dua tahun karena menurut ayah gajinya cukup untuk membiayai hidup kami semua (aku kembar. Segala biaya pastilah dikalikan dua). Ayahku hebat, sampai hari ini. Ayahku hebat dalam menafkahi kami. Dan atas itu, ia merasa pantas berkuasa di rumah ini.

Kami, aku dan kembaranku, menangis ketika digendong ayah pada ulang tahun kesatu (terpatri di album foto) dan hanya akan diam jika mama atau mbak pengasuh mengambil kami, bahkan jika hanya telapak tangan mereka saja menyentuh bokong kami. Orang-orang akan melihat momen itu sebagai satu memori kecil yang sepele saja. Aku melihatnya lain. Anak-anak ayah memang tidak pernah membangun bonding dengan ayahnya.

Ayah sibuk bekerja, ibu sibuk menggembirakan ayah sepulang kerja.

Dan kami tidak pernah bernyanyi. Hanya ibu, lalu aku (di luar rumah). Padahal dalam hidup, selain mandi manusia butuh bernyanyi. Ada banyak kaset. Mereka mendengar Air Supply hingga Ebiet G. Ade. Tapi mendengarkan lagu tanpa pernah bernyanyi sama seperti membaca buku-buku bagus tanpa pernah mengulasnya.

Dunia terus berjalan. Kami tidak pernah tidak liburan. Dari kecil hingga dewasa, selalu ada anggaran untuk Taman Safari atau luar kota. Tapi ketika adik bungsuku berdialog dengan ayah soal keinginannya pergi ke psikolog, ayah bingung dan bertanya-tanya anak ini sakit apa. Aku jadi ingat dulu saat berhasil masuk jurusan Psikologi, yang ayah bilang ke sanak famili bukan “supaya makin paham dengan kesehatan mental”, melainkan “karena terlalu kecil dananya untuk masuk Kedokteran. jadi bergeser sedikit sajalah.”

Pada akhirnya aku tidak jadi psikolog. Malah aku yang datang ke psikolog dan dideteksi mengalami severe depression.

Jadi, apa yang aku rasakan sepekan lalu?

Senin dengan penuh percaya diri bersenang-senang di gym floor lalu zumba, pulangnya beli Butterscotch Latte-nya Fore dengan penuh rasa syukur. Hari-hari berikutnya mengantar si Mas kontrol dokter spesialis orthopedi, membantu adik pindahan dari Bogor, membaca Agatha Christie dan Ester Lianawati yang belum juga kelar, mulai menulis draft ini dengan jiwa dipenuhi duri, berbincang cukup dalam dengan Agnicia Rana & Ayyara Fay Japakyati, menyambut keponakanku yang dengan ajaib mengubah persona ayahku, dan berusaha menyelesaikan draft ini (terlambat satu hari).

Tidak bahagia, tidak sengsara. Itu yang aku rasakan. Dengan pertanyaan yang sama 24/7 di usia setua ini: “apa yang akan aku lakukan setelah ini?”.

Sebuah insight menarik dari satu utas twitter kutemukan, tentang impostor syndrome alias ada setan yang menggoda keyakinan seseorang atas keberhargaan diri dan kemampuannya sebagai seorang manusia. Mungkin setan itu lagi nangkring di jiwaku. Nanti aku ajak berdialog.

Inilah aku, Waktu. Tikam aku. Tapi jangan pekan ini. Aku masih punya janji. Jam 13.00 nanti jumpa Chiki Fawzi, besok pagi ikut kelas body combat, lusa jumpa Wanda Roxanne, tulat mau makan kerak telor dan nyaksikan kembang api di Jakarta Fair. Nanti dulu, Waktu. Sariawanku juga belum sembuh.

--

--

Aya Canina

buku: Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). instagram: @ayacanina.